'Sayang Anak' Dalam Pusaran Partai Politik
By. Dwiroso
Sayang anak, sayang anak..
Kata kata ini sering kita dengar di area terminal, di dalam bus bus dan kereta kelas ekonomi (meskipun kereta api sekarang sudah steril dari kaum pedagang), tapi fenomena kaum penjaja ini tidak akan ditemui di bordes bordes pesawat, meskipun dikelas ekonomi.
Apa yang terjadi hari hari ini, dimana blantika perpolitikan nasional pasca drama politik dengan lakon pengkhianatan di tubuh koalisi, yang berakhir dengan hengkang nya partai Demokrat dari gerbong koalisi perubahan untuk persatuan dan mencabut dukungan politik nya atas pencapresan Anies Baswedan di pilpres 2024. Dan saat ini kita tengah menunggu drama politik episode kedua yaitu rujuk politik SBY - Megawati. Mengapa rujuk? Apakah keduanya pernah menyatakan bercerai?
Selama hampir dua dekade, pertalian antara kedua elite politik itu mengalami pasang surut.
Kalau mengenang kembali apa yang terjadi pada 2001-2004, SBY dan Megawati pernah 'mesra' ketika sama-sama menyokong Kabinet Gotong Royong di mana Megawati jadi pimpinannya dan SBY sebagai Menteri Koordiantor Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam).
Sebelum itu, SBY yang berlatar belakang militer ini lebih dulu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polkamsos) pada era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Saat itu, keputusan Megawati menunjuk SBY sempat dipertanyakan oleh sejumlah elite PDI-P. Sebab, SBY dianggap terlibat dalam tragedi Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kuda Tuli) yang memporak-porandakan Kantor DPP PDI (cikal bakal PDI-P) pada era Orde Baru.
Namun, setelah Pemilu Presiden 2004, mereka terlihat renggang. Keduanya seolah saling menghindar.
Saat itu, SBY tak menuntaskan jabatannya sebagai Menko Polkam hingga akhir masa kerja Kabinet Gotong Royong. SBY kemudian diketahui mundur pada 11 Maret 2004, sekitar dua bulan sebelum pendaftaran peserta Pilpres.