Kini perkembangan teknologi dan informasi kian mempengaruhi gaya hidup sosial termasuk bagi masyarakat muslim. Apalagi didukung oleh maraknya pengguna internet yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kehadiran internet pula mengantarkan kemudahan dan menawarkan jasa-jasa dalam berbagai bidang terutama pada industri bisnis.
Sehingga banyak pebisnis mulai melirik kecanggihan teknologi dan informasi untuk menarik simpati masyarakat. Maka tidak heran mulai bermunculan beragam platform untuk menawarkan kemudahan transaksi melalui perdagangan elektronik (e-commerce). PayLater menjadi salah satu fitur terbaru dari e-commerce yang masih hangat diperbincangkan saat ini. Jika ditilik secara bahasa, PayLater diartikan sebagai bayar tunda. PayLater memiliki metode pembayaran menyerupai kartu kredit dengan berbasis financial technology (fintech). Dimana perusahaan aplikasi terkait akan memberikan dana talangan dengan pola pengembalian diakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Bagi masyarakat millenial, metode PayLater "beli sekarang, bayar nanti" tentu sangat menggiurkan. Terlebih ketika membutuhkan dana mendesak atau sekedar untuk mencukupi kebutuhan, fitur ini menjadi alternatif penyedia dana pinjaman yang lebih cepat dan praktis serta memiliki waktu yang fleksibel dalam penggunaannya. Selain itu, proses pengaktifan dan syarat-syaratnya pun tergolong mudah dibandingkan pengajuan kartu kredit pada bank. Disamping itu juga, masyarakat bebas memilih tenor/jangka waktu pembayaran sesuai keinginan mereka. Atas dasar ini, metode pembayaran PayLater sangat digemari masyarakat millenial.
Kendati demikian, pengguna PayLater tidak boleh terlena dengan keuntungan yang ditawarkan. Meski tampak sangat menguntungkan, akan tetapi bukan berarti tidak ada sisi negatifnya.
Bagi pengguna yang tidak bijak maka akan menimbulkan kebiasaan hidup boros dan konsumtif. Sebagai masyarakat muslim juga tidak ada salahnya jika meninjau konsep PayLater dengan kaidah fikih muamalah. Ini menjadi suatu hal yang penting agar tidak terjerumus pada transaksi yang kurang tepat bahkan bertentangan dengan syariat Islam yang justru sangat merugikan.
Pada dasarnya, konsep PayLater seperti halnya utang (qardh). Hal ini tercermin dengan adanya transaksi jual beli secara kredit atau cicilan. Dimana konsumen akan memesan atau membeli barang pada situs yang tersedia. Selanjutnya, perusahaan platform tersebut akan memberikan pinjaman dana untuk membayar barang/belanjaan konsumen melalui PayLater. Kemudian, pinjaman tersebut akan dilunasi dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, pihak konsumen secara tidak langsung telah berhutang pada perusahaan platform penerbit PayLater.
Jika ditelisik dalam kajian fikih muamalah, pada hakikatnya membeli barang secara kredit atau dengan cara berutang sangat tidak dianjurkan dalam syariat. Namun, terkecuali bagi seseorang yang sangat membutuhkan dan memiliki keyakinan mampu melunasinya. Sehingga hukum berutang diperbolehkan hanya jika memenuhi beberapa syarat-syarat tertentu sekalipun pembelian secara kredit memiliki harga jauh lebih mahal dari harga tunai.
Jika dilihat dari banyaknya perusahaan platform penyedia PayLater, mekanisme yang diterapkan antara satu dengan yang lainnya tentu berbeda. Sebagai contohnya, adanya perbedaan dalam metode pembayaran. Dimana ketentuan metode dan besarnya cicilan tergantung dari kebijakan perusahaan masing-masing.
Pihak perusahaan bebas menawarkan beberapa pilihan cicilan seperti cicilan 1x dengan tingkat bunga 0%, ada juga cicilan 2x, cicilan 3x bahkan cicilan 6x dengan tambahan bunga atau menetapkan berdasarkan periode waktu tertentu. Dalam hukum Islam, tidak memperbolehkan transaksi yang mengandung bunga atau riba dalam bentuk apapun untuk mendapatkan keuntungan. Maka apabila perusahaan membebankan tambahan harta melebihi pokok pinjaman atas jasa utang yang diberikan, itu dikategorikan sebagai riba qardh. Lantaran hukum asal dari qardh/utang yaitu kembalinya ra'su al-mal (sejumlah harta pokok) yang diutang tanpa tambahan.
Sehingga jika pemberi utang membebankan bunga, maka bunga tersebut merupakan riba. Berbeda halnya perusahaan yang membebankan adanya biaya administrasi untuk setiap transaksi, maka ini tidak termasuk riba. Biaya administrasi tersebut dihitung sebagai upah/ujrah/fee bagi perusahaan dengan syarat bahwa besarnya upah diketahui secara jelas. Sedangkan kedudukan dari perusahaan itu sendiri diqiyaskan sebagai jasa (ijarah) yang disewakan.