Lihat ke Halaman Asli

Posisi Halal terhadap Standar Mutu Lain, dan Komitmen Pemerintah pada Pengembangannya

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditulis oleh Dwi Purnomo

Kandidat Dotor TIP-IPB Dosen FTIP UNPAD TQM VS HALAL Mengenai Konsep sistem manajemen yang dikembangkan yang mencakup TQM, memang sudah baik dan sesuai strandar dan dapat dilaksanakan di tingkat produsen/industri. Konsep ini pun tidak kalah bersaing dgn konsep yang ada di negara lain. Konsep halal dengan TQM berbeda secara hakikat pada landasan pelaksanaannya. Standar halal pada setiap negara berbeda-beda tergantung pada komitmen pada perlindungan konsumennya, tingkat ketaatan dan pemahaman pada religi itu sendiri (Mazhab yang berbeda-beda disetiap wilayah). Pada tataran TQM, kegiatan yang dilakukan ditujukan untuk menanamkan kesadaran kualitas pada semua proses dalam sebuah organisasi. Jika dirujuk dari ISO, TQM merupakan “suatu pendekatan manajemen untuk suatu organisasi yang terpusat pada kualitas, berdasarkan partisipasi semua anggotanya dan bertujuan untuk kesuksesan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan serta memberi keuntungan untuk semua anggota dalam organisasi serta masyarakat.” Sebuah perusahaan yang baik biasanya memberikan kepuasan konsumen melalui produk yang dihasilkan dan jasa kemudian hasilnya untuk meningkatkan unjuk kerja perusahaan. Filosofi TQM adalah “sebagai efek dari kepuasan konsumen, sebuah organisasi dapat mengalami kesuksesan.” Biasanya TQM adalah kegiatan yang costumer focus dengan melakukan aktifitas pendekatan sistem dan aktifitas pendekatan ilmiah Yang membedakan dari TQM dan Halal adalah konsepsi pemenuhan syarat syar’i pada setiap lini pra prosuksi, proses produksi, logistik hingga proses produksi sampai digunakan oleh konsumen. Pada kosnep halal modern yang kini dipahami berbagai kalangan internasional, halal dipahami sebagai konsep mutu tertinggi. Jika suatu produk mendapatkan sertifikat halal, seharusnya produk tersesebut sudah dapat dikatakan sebagaiproduk yang bermutu. Sudah barang tentu pasti lulus TQM, HaCCP atau standar mutu lainnya.  Namun jika suatu produk lulus standar TQM atau HaCCP atau jenis standarisasi lainnya belum tentu lulus sertifikasi halal. Hal ini bisa diakibatkan terkontaminasi atau tidak diolahnya secara syar’i produk tersebut dan mengakibtakna tercampur, terkena unsur haram.

SISTEM JAMINAN HALAL Perusahaan yang telah mensertifikasikan halal untuk produknya dituntut menyiapkan suatu sistem untuk menjamin kesinambungan proses produksi halal secara konsisten. Sistem inilah yang disebut sebagai sistem jaminan halal. Sistem jaminan halal (SJH) merupakan sebuah sistem yang mengelaborasikan, menghubungkan, mengakomodasikan dan mengintegrasikan konsep-konsep syariat Islam khususnya terkait dengan halal haram, etika usaha dan manajemen keseluruhan, prosedur dan mekanisme perencanaan, implementasi dan evaluasinya pada suatu rangkaian produksi/olahan bahan yang akan dikonsumsi umat Islam. Sistem ini dibuat untuk memperoleh dan sekaligus menjamin bahwa produk-produk tersebut halal. Sistem jaminan halal dibuat sebagai bagian integral dari kebijakan perusahaan, bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri. SJH sebagai sebuah sistem pada suatu rangkaian produksi. Konsep-konsep syariat dan etika usaha akan menjadi input utama dalam SJH.

SJH senantiasa akan dijiwai dan didasari kedua konsep tersebut. Prinsip sistem jaminan halal pada dasarnya mengacu pada konsep Total Quality Manajement (TQM), yaitu sistem manajemen kualitas terpadu yang menekankan pada pengendalian kualitas pada setiap lini.   Sedangkan Sistem jaminan halal harus dipadukan dalam keseluruhan manajemen, yang berpijak pada empat konsep dasar, yaitu komitmen secara ajeg dapat memenuhi permintaan dan persyaratan konsumen, meningkatkan mutu produksi dengan harga yang terjangkau, produksi bebas dari kerja ulang, bebas dari penolakan dan penyidikan. Untuk mencapai hal tersebut perlu menekankan pada tiga aspek zero limit, zero defect dan zero risk. Dengan penekanan pada tiga zero tersebut, tidak boleh ada sedikitpun barang haram yang digunakan, tidak boleh ada proses yang menimbulkan keharaman produk, dan tidak menimbulkan resiko dengan penerapan ini. Oleh karena itu perlu adanya komitmen dari seluruh bagian organisasi manajemen, dimulai dari pengadaan bahan baku sampai distribusi pemasaran. SJH berkembang karena kesadaran dan kebutuhan konsumen Muslim untuk melindungi dirinya agar terhindar dari produk yang dilarang (haram) dan meragukan (syubhat) menurut ketentuan syariah Islam.Penerapan Sistem jaminan Halal dalam penerapannya harus diuraikan secara tertulis dalam bentuk Manual Halal yang meliputi lima aspek: 1. Pernyataan kebijakan perusahaan tentang halal (Halal policy) 2. Panduan halal (Halal Guidelines) 3. Sistem Organisasi Halal 4. Uraian titik kendali kritis keharaman produk 5. Sistem audit halal internal

SJH adalah proses yang standar, namun uniknya halal sendiri bukanlah standar. Keputusan halal merupakan fatwa dari ulama suatu negara atas barang, proses atau jasa yang menyangkut keyakinan (dalam hal ini islam). Sehingga yang menentukan halal itu sejatinya bukan pemerintah, pengusaha atau lembaga terrentu. Halal ditentukan oleh ulama setelah ditelaah secara ilmiah oleh para ahli yang dinaungi dalam suatu lembaga, dalam hal ini adalah LPPOM MUI jika di Indonesia. LPPOM MUI bertugas untuk menganalisa dan menjamin bahwa suatu produk dijamin kehalalalnya selama proses produksinya berlangsung. Proses ini lah yang dibawa LPPOM MUI untuk dimintakan pendapat kehalalalanya pada MUI.  Sistem JPH LPPOM MUI merupakan sistem sertifikasi halal yang paling baik di dunia. Mengenai diakui atau tidaknya, tidak semua negara mengakuinya, tetapi pada dasarnya sertifikasi LPPOM MUI ini memiliki jumlah negara yang paling banyak diakui di dunia. Mengenai standar sertifikasi yang berbeda ditiap negara perlu dipahami sebagai perbedaan pemahaman terhadap konsepsi kehalalalan secara syar’i dan juga terdapat beberapa perbedaan kepentingan perdagangan yang melandasinya. Malaysia misalnya, walaupun standarnya tidak seketat Indonesia tapi banyak negara mengakui sistemnya karena kemampuan advokasi internasionalnya demi kepentingan perdagangan internasionalnya. KOMITMEN PENGEMBANGAN HALAL Selama ini komitmen pemerintah dalam pengembangan produk halal masih minim. Jika dibandingkan dengan negara lain khususnya Malaysia, Singapura dan Thailand, agroindustri halal mereka sudah menjadi bagian dari rencana pembangunan industri nasionalnya. Pada umumnya selain memandang halal sebagai langkah perlindungan terhadap konsumen muslim, negara-negara ini benar-benar menghitung potensi keuntungan bisnisnya yang dapat diraih dalam jangka panjang.

Komitmen pemerintah Indonesia terhadap agroindustri halal nasional yang cenderung rendah tentunya mengakibatkan jaminan pangan halal di Indonesia cukup memprihatinkan. Hadirnya RUU Halal yang baru dari segi visinya saja hanya melindungi konsumen dalam negeri berbeda dari negara lain yang berupaya melakukan ekspansi pasar internasional termasuk pasar Indonesia yang merupakan pasar halal terbesar di dunia. Belum lagi RUU JPH yang sekarang dirumuskan cenderung bertujuan jangka pendek dengan tujuan peningkatan pendapatan melalui labelisasi halal. Ditambah lagi dengan penetepan pemerintah sebagai regulator sekaligus sertifikator. Bagaimanapun seorang wasit tidak akan pernah bisa ikut bermain. Koordinasi kelembagaan yang ada di Indonesia (termasuk kewenangan dan anggarannya), LPPOM MUI, BPPOM, dan berbagai kementrian memang belum punya format yang efisien dan efektif untuk melayani masyarakat.  Kelembagaan menjadi sulit dikuatkan karena unsure politis yang terlalu kuat. Namun secara akademins kita dapat mengkaji bahwa, bagaimana pemerintah dapat berkoordinasi jika ”halal” masih dipahami sebagai hal tradisionals ebagai pemenuhan kebutuhan agama tertentu ketimbang dilihat sebagai patok mutu tertinggi. Pemerintah dan berbagai kalangannya juga beluam paham akan goal yang ingin dicapai, hal ini karena tidak ada satupun kebijakan yang mengarahkan pembangunan agroindustri halal indonesia. Perlunya sebuah kebijakan strategis yang mengarahkan cakupan kewenangan antarkelompok institusi yang ada yang berasama-sama memiliki keinginan untuk membangun agroindustri halal Indonesia yang mampu bersaing di pasar global, tidak semata-mata hanya menang di dalam negeri dalam rentang waktu yang pendek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline