“Kapan wisuda?”
“Kok gak lulus-lulus, sih?”
“Kamu santai aja liat orang udah pada lulus?”
“Yakin mau tua di kampus? Gak malu sama temen seangkatan?”
Mayoritas dari kalian atau mahasiswa yang sedang berada di semester 8 ke atas pasti pernah mendengar pertanyaan tersebut, kan? Lumayan bikin stress dan tertekan, ya?
Stres merupakan suatu fenomena yang dapat dialami dan tidak bisa dihindari oleh setiap individu, termasuk pada mahasiswa. Stress yang dialami oleh mahasiswa tingkat akhir biasanya disebabkan oleh banyaknya tuntutan, baik eksternal mau pun internal. Sering kali terjadi ketika mahasiswa sedang menyusun tugas akhirnya dan ini lah yang memberikan dampak bagi kondisi kesehatan mental. Misalnya saja tekanan terdekat yang datang dari orang tua, keluarga, dan saudara yang selalu bertanya “kapan lulus?”, “ko tugas akhirnya gak selesai selesai?”. Tidak sedikit pula yang justru membandingkan dirinya sendiri dengan teman-temannya yang sudah selangkah lebih maju. Faktor pemicu stress ini juga dapat timbul dari dalam diri sendiri, selalu merasa kurang, tidak percaya dengan kemampuan yang kita punya, insecurity yang terlalu tinggi, hingga menyalahkan diri sendiri sebagai orang yang tidak berguna.
Sejalan dengan itu, terdapat pernyataan yang menyebutkan bahwa stress pada mahasiswa tingkat akhir berdampak pada aspek perilaku psikologi kejiwaan dan gangguan mental emosional, yang disertai dengan gangguan kecemasan hingga depresi (Wahyudi et al., 2017). Hal ini ditandai dengan munculnya gejala kecemasan, misalnya susah tidur, gelisah, rasa cemas berlebihan saat akan bertemu dosen pembimbing, selalu merasa khawatir tidak mampu menyelesaikan tugas akhir, berkali-kali judul ditolak dosen pembimbing, susah makan atau makan berlebih karena memikirkan judul penelitian, menjadi kurang bergairah karena mengalami stagnansi dalam penyusunan bab 1, dan sebagainya. Hal tersebut dapat pula dilihat dari respon non-verbal mahasiswa, misalnya raut wajah tidak rileks, tampak lemas, penampilan kurang rapi dan tidak seperti biasanya, tampak ragu-ragu ketika akan bertemu dosen, bahkan ada pula yang lebih memilih menghindar untuk bertemu dosen.
Berdasarkan hasil penelitian Global School-Based Students Health Survey (GSHS) di Indonesia, tercatat bahwa dari 11.142 jumlah responden remaja Indonesia, terdapat 40,75% mengalami kecemasan, 60,17% mengalami gejala mental emosional dan 7,33% mengalami kejadian bunuh diri (WHO, 2015).
Sejalan dengan gangguan kesehatan mental yang kerap dialami oleh mahasiswa tingkat akhir, terdapat beberapa alternatif solusi yang dapat dicoba untuk mengatasi stress tersebut. Cobalah untuk lebih mengenali dan menyayangi diri sendiri, memahami keinginan dan kebutuhan tubuh sebelum melakukan healing dari rasa stress. Berikut beberapa solusi yang dapat dicoba untuk menekan stress dan membuat mental kembali sehat, di antaranya:
1. Semangati diri sendiri dengan berpikir positif.
2. Akui kesalahan, bukan menyalahkan diri sendiri. Ketika mengakui kesalahan, kamu akan menemukan hal-hal apa saja yang perlu kamu perbaiki dan fokus untuk memperbaikinya, bukan meratapinya.