Lihat ke Halaman Asli

Menikah atau Tidak Menikah Adalah Hak Seseorang

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14076510191176036177

Ada fasenya ketika seseorang mengalami ketakutan untuk menikah, dan itu merupakan kewajaran.

Saya dulu takut untuk menikah. Takut bilamana saya tidak bahagia, takut bilamana saya tidak bisa menjadi istri baik, takut bilamana saya tidak bisa menjadi Ibu yang baik bagi anak-anak saya kelak.

Pernah saya menulis status tentang ketakukan saya menikah di facebook, mengundang banyak komentar pun di pesan. Sampai pacar saya yang sekarang menjadi tunangan sedikit kecewa namun selalu mengingatkan, meyakinkan  dan memberikan motivasi untuk saya .

Tentunya, semua itu ada alasannya. Semua bermula ketika saya  melihat orang tua saya berselisih paham  (meski itu wajar sekali-kali dalam berumah tangga), melihat dari tetangga yang saling adu teriak di depan anak-anaknya sedang saya hanya mengintip di balik jendela saling pukul memukul, saling hina menghina padahal menikah itu semestinya harus  bahagia dan membahagiakan, dari televisi yang banyak sekali artis bercerai, berita-berita tentang kekerasan dalam berumah tangga  serta  dari sahabat-sahabat saya yang bercerai di usia muda dan pernikahannya tergolong muda, sangat.

Itu yang menyebabkan saya dulu agak cuek terhadap pria.

Suatu senja di Pare, saya kebetulan sedang berlibur sekaligus belajar di sana sekamar dengan sahabat yag sudah saya anggap sebagai Mba. Setahun yang lalu dia tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana fakulas psikologi di UI. Usianya sekitar 37tahunan. Kami mengobrol, dan saling curhat dia melihat saya seperti bayangannya di saat dia masih muda. Dia khawatir jikalau saya mengalami sepertinya yang berniat untuk tidak menikah sama sekali dan memilih lajang dalam usianya. Ketakutannya sama seperti saya alasannya takut tidak bisa menjadi Ibu yang baik, ia pun bercerita bahwa  kesepian semasa kecilnya tanpa kasih sayang yang menyebabkannya takut bilamana kebiasaan yang dilakukan orang tuanya diturunkan olehnya kelak. “Materi yang berlimpah tidak menjadikan seseorang bahagia”, katanya.

Saya pun sempat bertanya padanya bagaimana jika nanti saat ia beranjak manula tanpa suami atau anak pasti lebih kesepian. “Oh, tidak saya punya cukup untuk menyewa suster serta merawat anak yatim supaya tidak kesepian”. Tapi, tetap ia menyarankan saya untuk tidak mengikuti jejaknya.

“Kau tahu, ada dan tidak adanya seseorang dalam hidupmu kau mesti bahagia”, katanya.

Kala itu, otak saya pun   dipenuhi dengan cerita gagalnya pernikahan dari teman-tema saya.

Ah,  jika pernikahan itu menyakitkan lebih baik tidak menikah sama sekali. Dan kita bisa mengabdi hidup kita untuk dunia sosial. Itulah pikuran saya 1 tahun yang lalu ketika saya  belum bertemu dengan Mas.

Hingga saya merenung,  dan mendalami agama bahwa menikah itu adalah ibadah.Ya, ibadah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline