Lihat ke Halaman Asli

Salahkah Jika Ve Menjadi Lesbian????????? (PART II)

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam minggu di Yogyakarta

Lalu lalang kendaraan roda dua melintasi jalan Jenderal Soedirman, arah yang paling ramai adalah arah ke alun-alun Yogyakarta. Kendaraan roda dua memenuhi jalanan, para muda-mudi berkendara dengan asyiknya seolah tak ada manusia lain diantara mereka. Tangan gadis-gadis memeluk erat pinggang para kekasihnya. Entah mereka takut jatuh, atau ada sensasi tersendiri dengan berpegangan seperti itu. Tak cukup hanya dengan berpegangan tangan, tanpa malu-malu mereka menghimpitkan tubuhnya bahkan mukanya yang saling beradu ditemaram lampu Jogja.

Kebisaaan muda-mudi sekarang adalah dengan “PD”nya mempertontonkan gaya-gaya pacaran yang telah terpengaruh oleh budaya barat. Ve hanya menggelangkan kepalanya sambil berpikir ‘apakah akan seperti itu dia nantinya? Apakah dia harus percaya dengan seorang laki-laki?’

Malam minggu Ve selalu saja sepi sama ketika pertama kalinya menginjakan kakinya di tanah Yogyakarta yang konon katanya penuh dengan misteri. Meskipun ia tidak memiliki seorang kekasih yang mau memboncengkannya menghabiskan malam minggunya, ia tetap gadis yang suka menghabiskan malam minggunya di alun-alun hanya untuk sekedar menyendiri. Ia melamun dan sekilas dalam benaknya datang sosok pria mendekatinya. Matanya yang sendu berulang-ulang ia pejamkan. Mungkin temaram lampu alun-alun membuatnya pening.

Bayangan gelap itupun semakin jelas, dialah pria yang beberapa hari ini selalu mengganggu Ve. Dika. Pria tampan itu seketika mendekati Ve dan duduk di samping Ve sembari menyodorkan jagung bakar yang ia bawa.

“Ve, kau sendiri di sini. Kamu inikan cewe, gak takut?” Tanya Dika.

“Entahlah, ini dah jadi hobiku. Kau sendiri ngapain duduk disini, di sana kan masih luas, gak penting banget si.” Ve dengan gayanya yang selalu jutek itu.

“ Kau pernah ingat, bahwa hukum karma itu berlaku? Kamu gak takut kamu akan kena karma karena selalu menolak pertemanan denganku. Apa dalam teori-teori hukum yang kamu pelajari itu tidak ada yang menjelaskan perihal hukum karma? Aku gak bakal maksa, njih mangga. Malem Ve, semoga malam minggumu ini kau baik-baik saja.” Dika pun berdiri meninggalkan Ve.

Dengan tertatih langkah dika terhenti oleh suara lirih dari seorang gadis mungil yang selama ini berusaha ia dekati. “Dika…, maaf…” suara lirih itu berhasil membalikan arah Dika 180o. Untuk pertama kalinya, senyum mengembang lahir dari bibir tipis Ve, mungkin inilah senyum terindah untuk para lelaki sepanjang umur Ve. Dika pun tersipu-sipu malu dan kembali mendekati Ve. Kedua muda mudi ini pun akhirnya bisa cair dalam suasana ramai alun-alun kebanggaan masyarakat Yogyakarta ini.

Waktu pun mulai habis, mereka berpisah meninggalkan bundaran yang semakin larut justru semakin ramai itu. Ve pulang dengan sepeda ontel kesayangannya dan Dika mengendarai motor modifikasi yang sangat apik itu.

*****Kampus menjadi Awal pendekatan

Kampus sebagai ajang untuk meraih prestasi dan mengekspresikan segala macam kreativitas mahasiswanya. Setiap kampus pasti memiliki event2 yang mampu mengumpulkan para mahasiswanya. Seperti halnya kampus Ve ini, hari yang panas itu, terasa semakin panas dengan adanya konser legendaries Iwan Fals (penyanyi favorit Ve). Sebagi seniman ia begitu mendedikasikan kemampuannya bernyanyi dengan mempersembahkan lagu-lagu yang begitu nasionalis, beberapa lagunya yang begitu mengkritik pemerintahan. “Manusia setengah dewa” sebuah judul lagu kesukaan Ve.

Ve pun seorang mahasisiwi hukum yang memiliki jiwa seniman yang tinggi, meskipun sedari dulu, kesenimanannya itu banyak ditumpahkan dengan goresan-goresan kuas diatas kertas kanvas.

Ternyata dunia sekarang ini benar-benar sempit, Ve kembali dipertemukan dengan Dika. “Hai, Ve, kamu nonton konser ini sendirian?” Dika menyapanya, Ve hanya menganggukan kepalanya sebagai tanda ‘Iya’. Music yang sangat keras itu membungkam mulut keduanya sehingga tak bisa melanjutkan perbincangan.

Konser itupun akhirnya selesai, kembali dipertemukan dalam keadaan yang tidak disengaja ini, apa mungkin suatu kebetulan saja ataukah direncanakan. Ve pun masih bingung kenapa dulu ia begitu menghindari pria (Dika) itu. Namun sekarang ia merasa bersalah karena telah menduga Dika sebagai sosok laki-laki yang kurang ajar, yang hanya bisa memanfaatkan kelemahan wanita. Dari kebetulan-kebetulan itulah membuat mereka berdua semakin dekat, dan Ve telah merasa nyaman dengan keberadaan Dika sebagai sahabat disampingnya.

“Pertemanan itu menjadi sebuah persahabatan, dan persahabatan itu pun akhirnya menjadi sebuah kisah percintaan”

[ Dan akhirnya Cinta itulah yang berbicara ]

**********catatan Kelana

(Maaf ya kawan aku postingnya dikit,

tetep penasaran ya kawan-kawannku)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline