Ada sesuatu yang memikat ketika kita berbicara tentang inisiatif yang tumbuh dari perhatian pada manusia, dari perhatian yang lebih mendalam, yang melampaui sekadar bantuan formal atau protokoler.
Di tengah percakapan tentang pembangunan yang seringkali terjebak dalam jargon-jargon statistik, hadir sebuah cerita yang lebih manusiawi dari seorang Riana Sari Arinal, istri mantan Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi, yang mengambil langkah konkret melalui pembentukan Persatuan Komunitas Disabilitas Lampung (PKDL).
Ini adalah kisah tentang bagaimana pandemi COVID-19 bukan hanya menjadi cerita tentang korban yang terpinggirkan, tetapi juga tentang mereka yang memilih untuk turun tangan.
Riana, dalam perannya, berbicara tentang Lampung sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki komunitas peduli disabilitas ini. Sebuah pernyataan yang dalam kadar optimisme dan realitasnya memaksa kita bertanya---mengapa baru Lampung? Mengapa bukan yang lain? Mengapa, dalam rentang waktu begitu panjang, persoalan disabilitas selalu menjadi catatan kaki dalam narasi besar pembangunan bangsa?
Inisiatif ini lahir pada masa yang sulit---di tengah pandemi yang memukul segala sektor. Namun yang menarik adalah, alih-alih berfokus pada penanganan umum yang sifatnya kolektif, Riana dan PKDL justru menemukan momen untuk melihat ke sisi yang seringkali terlupakan: para penyandang disabilitas yang terdampak lebih dalam. Orang-orang yang mungkin tidak tersentuh oleh bantuan umum yang lebih makro.
Ini bukan sekadar soal membagikan alat bantu dengar atau menyediakan akses kesehatan, tetapi sebuah upaya untuk menegaskan bahwa mereka, penyandang disabilitas, bukanlah beban masyarakat. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang memiliki hak dan kesempatan yang sama.
Menarik ketika Riana, dalam perbincangan di podcast Kupas Tuntas, menekankan betapa pentingnya perhatian lebih mendalam bagi anak-anak disabilitas. Ada ironi yang terselip di situ, bahwa di negeri yang membanggakan Pancasila, kita masih berbicara tentang kelompok masyarakat yang harus berjuang untuk sekadar diperhatikan. Lampung, dalam pernyataan ini, seolah hadir sebagai provinsi yang berusaha melawan arus.
Mencoba menunjukkan bahwa perhatian tidak bisa hanya diukur dari program bantuan sembako atau layanan medis yang sporadis. Ada sesuatu yang lebih mendalam---layanan yang langsung menyentuh kehidupan mereka, seperti program jemput bola dan layanan kesehatan langsung yang diusung oleh PKDL.
Namun, di balik semua itu, tersirat pula satu pertanyaan: apakah inisiatif ini akan berlanjut? Apakah ketika masa jabatan seorang gubernur berakhir, maka berakhir pula perhatian pada kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan? Riana, dengan penuh keyakinan, menegaskan bahwa selama kepemimpinan suaminya, tak ada golongan yang terabaikan.
Tetapi sejarah politik di negeri ini sudah terlalu sering memperlihatkan betapa program-program sosial yang tampak menjanjikan hanya menjadi kebijakan temporer, yang hilang begitu pemimpin berganti.