Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Ayah Lebih dari Seksdar Pencari Nafkah: Mengurai Dampak Fatherless di Indonesia

Diperbarui: 3 November 2024   18:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fenomena fatherless di Indonesia kian meningkat seiring dengan lonjakan angka perceraian dan perubahan pola keluarga. Kasus perceraian yang terus meningkat serta tuntutan ekonomi memaksa banyak ayah bekerja di luar kota atau luar negeri, yang menyebabkan terbatasnya kehadiran mereka dalam pengasuhan anak (Tirto, 2024; UGM, 2024). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perceraian mengalami kenaikan drastis dalam beberapa tahun terakhir, dengan 516.334 kasus pada tahun 2022, tertinggi dalam enam tahun terakhir. Sebagian besar perceraian tersebut merupakan cerai gugat dari pihak istri, yang menunjukkan adanya beban sosial dan ekonomi dalam rumah tangga yang tidak seimbang. Selain itu, persepsi tradisional tentang peran ayah sebagai pencari nafkah utama turut membatasi partisipasi mereka dalam kegiatan domestik dan interaksi sehari-hari dengan anak.

Data UNICEF menunjukkan bahwa sekitar 25-30% anak di Indonesia tumbuh tanpa figur ayah, baik secara fisik maupun emosional. Kondisi ini bukan hanya disebabkan oleh perceraian, tetapi juga ketidakhadiran ayah karena bekerja di luar daerah, migrasi, atau bahkan peran ayah yang secara emosional tidak aktif dalam keluarga. Fenomena ini berdampak langsung pada perkembangan mental dan sosial anak, seperti peningkatan risiko kenakalan remaja, putus sekolah, dan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Secara emosional, anak yang tidak mendapatkan perhatian dari figur ayah juga lebih rentan mengalami masalah kecemasan, depresi, dan sulit mengelola emosi. Hal ini berkontribusi pada rendahnya harga diri dan kontrol diri anak, yang berujung pada perilaku agresif atau kenakalan remaja (Diana, 2024).

Lebih lanjut, fatherless juga memengaruhi kualitas pendidikan anak-anak. Mereka berisiko 30% lebih tinggi untuk putus sekolah dan menghadapi kesulitan membentuk identitas serta hubungan sosial yang sehat. Dalam jangka panjang, kondisi ini meningkatkan risiko keterlibatan dalam perilaku menyimpang, seperti kecanduan gadget, narkoba, atau perilaku seksual berisiko (UGM, 2024). Di sisi lain, peran ibu tunggal menjadi semakin berat karena harus memenuhi peran ganda, baik sebagai pencari nafkah maupun pengasuh anak. Stigma sosial terhadap anak-anak fatherless dan ibu tunggal menambah tantangan psikologis mereka.

Selain itu, ketidakhadiran ayah memengaruhi pembentukan identitas gender, terutama bagi anak laki-laki. Sosok ayah idealnya menjadi model maskulinitas, dan ketidakhadirannya dapat membuat anak laki-laki kesulitan memahami peran gender secara positif. Sementara itu, anak perempuan yang kehilangan figur ayah cenderung mengalami ketergantungan emosional dalam hubungan mereka dengan orang lain (Tirto, 2024).

Untuk mengatasi masalah ini, peran ayah perlu diredefinisi agar tidak sekadar pencari nafkah, tetapi juga menjadi figur yang aktif dalam pengasuhan anak. Kehadiran emosional ayah, seperti melalui kegiatan bersama dan komunikasi terbuka, sangat penting untuk mendukung keseimbangan perkembangan anak. Dengan demikian, upaya kolektif dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam keluarga Indonesia masa kini.

Daftar Pustaka

Alinea. (2023, Oktober 15). Paradoks pernikahan usia dini & angka perceraian yang tinggi. Alinea. Diakses dari https://www.alinea.id

Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik perceraian di Indonesia tahun 2022. Diakses dari https://www.bps.go.id

Diana, N. H. (2024, Januari 25). Ketahui bahaya fatherless menurut psikolog dan cara mengatasinya. Tirto. Diakses dari https://tirto.id

LPM Sigma. (2023, Agustus 21). Meningkatnya fatherless dan dampaknya bagi anak Indonesia. LPM Sigma. Diakses dari https://lpm-sigma.com

Perwitasari, N. H. (2024). Dampak fatherless pada perkembangan emosional dan sosial anak. Universitas Airlangga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline