Lihat ke Halaman Asli

Dwi Munthaha

Penikmat Dinamika Sosial Politik

Desa Hantu dan Setan Desa

Diperbarui: 18 November 2019   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sandung. Tempat pemakaman Dayak Ngaju setelah melalui ritual Tiwah. Jenazah digali dari kubur,tulang belulang dibersihkan dengan upacara kurban (dok.pribadi)

Banyak orang dikejutkan dengan kemunculan desa hantu. Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebutnya dalam forum kerja dengan Komisi XI DPR RI (06/11). Desa hantu yang dimaksud adalah desa-desa fiktif tanpa penghuni, tetapi menyerap anggaran Dana Desa. Seperti diketahui publik, Dana Desa merupakan program andalan Presiden Jokowi sejak periode awal kepemimpinannya. Implementasi Dana Desa dianggap sebagai solusi memperkuat modal finansial untuk mempercepat pembangunan di pedesaan. Anggarannya cukup fantastis dan dari tahun ke tahun terus meningkat, Rp 20,76 Triliun (2015), Rp 46,98 Triliun (2016), Rp 60 Triliun (2017dan 2018),  dan Rp 70 Triliun (2019).

Desa hantu yang disebutkan oleh Sri Mulyani tersebut merupakan masalah yang dihadapi birokrasi. Pemerintah tinggal mengungkap kasus tersebut untuk menunjukkan komitmen dalam pemberantasan korupsi yang telah membudaya di kalangan birokrat.

Namun ada masalah yang lebih penting dan urgen untuk disikapi yakni Hantu Desa. Jika desa hantu tidak terkait dengan penduduk desa karena memang disebutkan fiktif tanpa penduduk, maka Hantu Desa justru sesuatu yang nyata, namun banyak pihak membiarkan, bahkan mendukung sementara aktivitasnya cendrung menggerogoti sumberdaya desa dan melemahkan posisi masyarakatnya.

Hantu Desa yang Bergentayangan

Diskursus kritis tentang desa, acapkali diiringi dengan sensitifisme stigmatif. Di masa lalu, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan lantang mempropagandakan 7 setan desa, yakni: tuan tanah jahat, pejabat yang membela kepentingan tuan tanah, lintah darat, pengijon, tengkulak jahat, bandit desa, dan kapitalis birokrat yang mengeksploitasi petani. Dengan jargon ganyang 7 Setan Desa, terjadi aksi sepihak yang menimbulkan memori traumatik pada PKI. Pasca perisitiwa 30 September 1965, terjadi aksi balas dendam yang kemudian memunculkan trauma berkepanjangan bagi masyarakat desa. Desa kemudian terbentuk dalam budaya bisu. Ketakutan terhadap penguasa berlanjut setelah sebelumnya pun dalam kekuasaan feodal dan kolonial, masyarakat desa hanya menjadi objek untuk pemenuhan kebutuhan penguasa.

Realitas ini berjalan terus dalam waktu yang panjang. Terlepas sudah adanya political will dari pemerintah dengan menerbitkan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa yang memberi ruang otonomi bagi pemerintahan desa dan partisipasi masyarakat, hal tersebut berhadapan dengan realitas budaya masyarakat dan birokrasi yang korup. Mekanisme perencanaan pembangunan menempuh cara quasi partisipatif. Mengapa disebut demikian, partisipasi yang dirancang sistemik dengan pola bottom up, tidak diiringi dengan spirit yang sama. Budaya bisu masyarakat enggan dituntaskan, karena budaya kritis yang merupakan lawannya, masih dianggap tabu.

Syarat untuk sampai pada budaya kritis adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud bukan sebatas pengetahuan formal atau keahlian-keahlian yang perlu dimiliki oleh masyarakat desa. Pengetahuan tersebut haruslah menjadi sebentuk pengetahuan kontekstual tentang ekosistem desanya. Dari sana masyarakat desa memahami dan memiliki visi tentang seperti apa desanya, dan bagaimana pembangunan dilaksanakan untuk masa kini dan masa depan mereka. Konsepsi tersebut adalah sejatinya prespektif otonomi dan partisipasi.

Propaganda PKI tentang 7 setan desa sendiri, juga sesuatu rumusan sepihak yang memposisikan masyarakat desa sebagai objek dari kepentingan partai. Doktrin tersebut tidak dicerna secara kritis hingga mampu memobilisasi aksi massa yang dikemudian hari justru mempersulit masyarakat desa.  Kekacauan-kekacauan metodologis, terus diulang oleh partai-partai politik setelah itu. Bahkan lebih parah lagi, masyarakat desa hanya menjadi sebatas suara yang menghantarkan mereka ke kursi kekuasaan.

Saat kekuasaan diperoleh, desa dan masyarakat kembali menjadi objek. Pendekatan struktural fungsional yang digandrungi oleh pemerintah, dilakukan hanya untuk mencapai stabilitas, namun disfungsional bagi kepentingan rakyat.  Akan tetapi, tidak objektif jika menihilkan pembangunan yang terjadi di era otonomi desa. Dana Desa berguna untuk proyek-proyek infrastruktur skala mikro yang mempercantik wajah desa serta mempermudah akses ke desa tersebut.

Desa menjadi semakin terbuka dengan kemudahan interaksi dengan berbagai pihak, ditambah dengan perluasan infrastruktur telekomunikasi. Namun demikian, kemudahan itu juga memberi ruang pada hantu-hantu bergentayangan di desa. Hantu-hantu ini adalah operator sistem yang menghisap keuntungan yang seharusnya diterima oleh masyarakat desa. Wajahnya bisa beragam bentuk dengan mengatasnamakan investasi atau juga bentuk kepedulian yang berujung terciptanya alat penghisap kesejahteraan masyarakat desa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline