Lihat ke Halaman Asli

Dwi Munthaha

Penikmat Dinamika Sosial Politik

Polemik Modernitas dan Kemanusiaan di Papua

Diperbarui: 8 November 2019   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Usai dilantik, Jokowi segera begegas ke Papua. Wilayah yang dimenangkannya secara siginifikan saat Pilpres. Wilayah yang dirundung konflik akibat aksi rasialis dan meletupkan kerusuhan yang massif. Kedatangan Jokowi mampu mengubah tuntutan referendum berganti dengan akomodasi pemekaran daerah.

Harold Macmillan, Perdana Menteri Inggris (1967-1963), suatu kali di awal tahun 1960an, pernah ditanya oleh wartawan tentang apa hal yang paling dia takuti. Jawabannya mengejutkan, "peristiwa". Pertanyaan tersebut terkait dengan situasi politik Inggris saat itu. Ketakutan Macmillan, tentunya berhubungan dengan peristiwa politik yang tidak terduga dan sulit untuk dicari solusinya (Antonio Marteli,2014).

Ketidakjelasan peristiwa politik yang akan terjadi, barangkali merupakan ketakutan bagi semua elit politik. Terlebih lagi bagi elit yang berkuasa, karena akan muncul kosekuensi yang berpengaruh dengan kekuasaannya.  Menurut Antonio Marteli,  ketakutan tersebut merupakan sifat manusia yang lumrah, bayangan akan perubahan selalu membawa semacam rasa takut, sensasi kehilangan yang muncul.

Gejolak yang terjadi di Papua saat ini, tentunya menimbulkan rasa takut bagi para pemimpin negeri ini, dan bahkan mungkin banyak warga negara Indonesia,  Papua maupun non Papua. Ketakutan tersebut juga dapat berbeda-beda cara pandangnya. Jika derivasinya adalah ekonomi, maka yang terbayang adalah kehilangan sebuah wilayah yang indah dan kaya sumberdaya alamnya. Namun, jika kehilangan itu berdasar pada nasionalisme, maka ini dapat menjadi pukulan batin bagi kita sebagai bangsa. Aspek ekonomi dapat  jelas untuk dilihat, bagaimana dengan nasionalisme? Apakah terlihat  dengan jelas ataukah hanya konsepsi absurd yang digadang-gadang oleh elit politik yang tujuannya semata kekuasaannya?

Dalam konteks politik di Indonesia, termasuk Papua Barat dan Papua,  baru saja terjadi peristiwa konstitusi rakyat yakni Pileg dan Pilpres.  Dalam Pilpres 2019 yang lalu, di Provinsi Papua Barat tingkat partisipasi pemilih mencapai 88%. Sedang di Provinsi Papua sendiri angkanya lebih besar lagi,  bahkan mengungguli provinsi lain di   Indonesia;  94,23%. Pasangan Jokowi-Ma'ruf memperoleh kemenangan telak di kedua provinsi tersebut di atas 90%.  Artinya, belum lama berselang, aspirasi politik mayoritas masyarakat Papua sudah disalurkan secara konstitusional melalui pemilu. Sementara, presiden terpilih belum dilantik untuk periode selanjutnya, tiba-tiba muncul peristiwa demonstrasi massif di Papua. Tuntutan yang menggema adalah referendum, rakyat Papua menentukan sikap mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Referendum sama halnya dengan Pemilu, yakni penyaluran aspirasi politik. Lalu apa artinya tingkat partisipasi yang tinggi dan raihan suara mayoritas yang diperoleh Jokowi pada Pilpres 2019 di Papua?

Langgam Postkolonial  

Di Papua, sejarah kekuasaan tidak dirasakan ramah oleh warganya. Sejak ekspansi kolonialisme menyerbu belahan dunia, Papua hanyalah objek eksploitasi dan penindasan. Anggapan primitivitas terhadap orang-orang Papua mengentalkan sikap rasis yang berkepanjangan. Sikap ini, kendati pun tidak terpuji,  namun virusnya bersemanyam di kepala setiap manusia yang merasa lebih berpengetahuan dan modern.

Yang dialami rakyat Papua lebih tragis lagi, pascakemerdekaan lepas dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, tidak menyurutkan penindasan yang mereka terima. Justifikasi kemanusiaan, membangun peradaban yang lebih maju, tidak mampu berkompromi dengan perilaku elit yang korup di masa lalu  dan masih tersisa  hingga saat ini.  Sumberdaya alam di Papua mampu menggoda munculnya sikap primitif manusia yang serakah. Atas dasar itulah kekerasan di muka bumi ini sulit untuk dihapuskan. Bukan hanya di Papua, situasi ini juga terjadi di wilayah konflik negara lain, seperti: Irak, Syria, Sudan, Afganistan, Palestina dan lainnya. 

Jika merujuk sejarah, penyebaran modernisasi yang dimulai dari benua Eropa, juga diawali dengan perilaku menindas dan rasis. Semakin modern semakin eksploitatif, semakin menindas dan rasis. Bagaimana nasib suku Indian di benua Amerika dan Aborigin di Australia dalam bentuk nyata yang tidak dapat dipungkiri. Modernisasi terkembang oleh semangat akumulasi kapital yang di dalamnya dapat bersembunyi berbagai kedok apapun, termasuk kesucian agama dan kemanusiaan.

Saat ini, laju modernitas telah sampai pada masa puncak dari perkembangan teknologi. Revolusi pengetahuan telah memasuki wilayah utama yakni manusia itu sendiri. Teknologi telah mengarah pada penciptaan manusia bukan hanya semata rekayasa sosial yang seperti selama ini terjadi, bahkan sampai pada aspek pembentukan biologis. Bioteknologi  diramalkan akan membentuk masa depan manusia sesuai kebutuhan dan selera yang diinginkan. Aspek emosional yang dulunya dianggap tidak dimiliki oleh robot atau mesin-mesin komputer, disempurnakan oleh Infoteknologi berupa Bigdata, yang memiliki kesempurnaan merekam algoritma emosi manusia yang terhubung dengan komputer.  Kita tentu saja dapat berkilah, bahwa tidak semua manusia menggunakannya. Namun, kelompok tersebut akan menjadi useless people (Yuval Noah Harari,2018).

Penggolongan useless people ini mengkonfirmasi sikap rasisme dalam peradaban modern. Harari yang sedang membangun diskursus peradaban manusia dari masa purba hingga sekarang, mencoba menunjukkan bagaimana perkembangan sapiens millenial yang berevolusi meninggalkan saudara-saudara primata lainnya untuk menguasai bumi. Penguasaan ini, kemudian berlanjut diantara sapiens, yang menyisakan ketertinggalan peradaban pada kelompok sapiens tertentu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline