Lihat ke Halaman Asli

Dwi Munthaha

Penikmat Dinamika Sosial Politik

Out of The Box atau Tunduk pada Oligarki Pasar

Diperbarui: 6 November 2019   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tak ayal menimbulkan berbagai reaksi. Sosok Nadiem sebagai representasi generasi millenials yang cerdas dan sukses dalam bisnis, tentu saja mampu memikat banyak orang. Namun pertanyaan yang nanti akan dijawab oleh kinerjanya, apakah dengan segala kelebihan yang dimilikinya akan mampu membawa peningkatan kualitas talenta manusia Indonesia, terutama generasi muda di Indonesia.

Banyak pihak yang optimis walau tak kurang yang pesimis akan hal itu. Secara empiris sejarah negeri ini, tak lepas dari peran kaum mudanya. Sumpah Pemuda yang dianggap millestone menuju kemerdekaan Indonesia adalah bukti yang tak bisa dipungkiri. 

Jika  Soekarno menyebut kemerdekaan adalah gerbang jembatan emas, di gerbang itulah kita selama 74 tahun berdiam. Analogi jembatan tentunya harus dipahami sebagai infrastruktur menuju tujuan. Logika ini tidak boleh diubah menjadikan jembatan atau pun infrastruktur sebagai tujuan.

Budaya masyarakat yang sakit
Memahami pendidikan di Indonesia, tentu bukan perkara yang mudah. Kualitasnya tidak bisa serta merta dianggap baik dengan banyaknya jumlah sekolah dan perguruan tinggi, serta tenaga pengajar yang menyandang gelar akademik yang tinggi. 

Meminjam terminologinya Erich Fromm tentang Masyarakat yang Sehat, pada kenyataannya mayoritas masyarakat di Indonesia masih jauh dari gambaran tersebut. Industrialisasi dan modernisasi membentuk lingkungan sosial yang membuat manusia menjadi mahluk yang tamak, egois dan mementingkan diri sendiri. 

Kondisi ini diperjelas di wilayah perkotaan. Begitu warganya keluar dari rumah, ia akan masuk dalam arus mobilitas yang padat dan banal yang selalu berusaha melanggar aturan dan norma yang telah ditentukan.

Siapa mereka itu? Mereka adalah warga negara yang cukup beruntung karena terakomodir dalam dunia kerja. Syarat menjadi seperti mereka, tidak sederhana. Mereka harus menempuh jenjang pendidikan setinggi-tingginya dan lulus dari seleksi yang ketat untuk punya aktivitas harian yang disebut kerja. 

Dari rangkaian perjalanan hidup mereka, sudah tentu pendidikan mereka miliki. Lalu, seberapa berpengaruh pendidikan tersebut dengan persaingan di jalan raya.  Kesemrawutan menjadi tontonan harian yang berulang itu tanpa penyikapan yang jelas, kalau pun ada cendrung manipulatif dan koruptif.  Secara alamiah perilaku yang berulang akan masuk dalam memori bawah sadar dan berubah menjadi budaya.

Bagaimana dengan warga di pedesaan? Perkembangan teknologi informasi ternyata tidak diantisipasi dengan kesiapan yang cukup. Virus modernisme yang dikendalikan oleh industri, hanya tinggal menunggu sedikit waktu untuk mengubah sistem kehidupan masyarakat desa.

Romantisme kehidupan desa yang dulu dianggap sebagai kesahajaan, saat ini sudah mulai tergerus dengan perilaku gaya hidup yang semakin modern. Situasi ini justru akan membawa dampak yang lebih parah lagi.

Penyebutan frasa kesahajaan perlu dicurigai prespektif berpikirnya. Cara hidup mayarakat desa tempo dulu tidak tercipta dengan sendirinya. Sistem sosial mereka tergolong kokoh untuk lingkungan di mana mereka tinggal. Sebagaimana masyarakat tradisional, mereka berhimpun di satu wilayah dengan mengupayakan sumber daya alam yang ada untuk penghidupannya. Namun lambat laun sistem itu dipengaruhi secara determinan oleh kekuasaan yang berada jauh dari lingkungan  (extrasocietal) tersebut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline