Pilkada di Indonesia bukan sekadar pelaksanaan demokrasi rutin. Pilkada merupakan ekspresi nyata dari keberagaman, persatuan, dan ketahanan bangsa. Dengan lebih dari 17.000 pulau, 1.300 kelompok etnis, dan ratusan bahasa daerah, Indonesia merupakan bukti nyata keindahan multikulturalisme.
Setiap pemilihan, dari desa terpencil di Papua hingga kota-kota ramai di Jawa, merupakan perayaan keberagaman ini---penegasan kembali suara rakyat dalam membentuk masa depan mereka.
Menurut Long Form Sensus Penduduk 2020 (BPS), 73,87% (Sumber: Badan Pusat Statistik, Kemendikbudristek), keluarga di Indonesia masih menggunakan bahasa daerah di rumah, namun angka ini turun menjadi 61--62% di kalangan generasi Z dan Alfa.
Di luar lingkungan keluarga, penggunaan bahasa daerah semakin berkurang, hanya 71,93% di kalangan kerabat atau tetangga. Data ini memunculkan pertanyaan: apakah bahasa daerah akan punah di tengah arus globalisasi?
Bahasa daerah merupakan identitas budaya yang diwariskan lintas generasi, tetapi perubahan sikap penutur dan tekanan global telah menyebabkan penurunan jumlah penutur aktif. Banyak yang beralih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing yang lebih fungsional dalam konteks multibahasa, sehingga menggeser bahasa daerah ke pinggir komunikasi sehari-hari.
Pelestarian bahasa daerah memerlukan tiga pendekatan strategis:
- Kesadaran Kolektif akan Ancaman Punahnya Bahasa
Banyak bahasa daerah, baik yang memiliki penutur sedikit maupun banyak, kini menghadapi peluruhan akibat persaingan bahasa yang ketat bahkan hingga ke perkampungan. Kesadaran akan ancaman ini harus ditanamkan sejak dini di kalangan penutur muda. - Pendekatan yang Kontekstual dan Spesifik
Setiap bahasa daerah memiliki karakteristik unik yang membutuhkan strategi pelestarian khusus. Pendekatan seragam cenderung gagal, sehingga perlu ada kebijakan yang menyesuaikan dengan kondisi lokal. - Gerakan Bersama antara Pemerintah dan Masyarakat
Pelestarian bahasa daerah harus menjadi tanggung jawab kolektif, melibatkan masyarakat, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Kolaborasi ini penting untuk menciptakan langkah yang selaras dan berkelanjutan.
Sayangnya, program pelestarian bahasa daerah selama ini kurang memperhatikan tiga aspek krusial: kesadaran kolektif, pendekatan kontekstual, dan kolaborasi lintas pihak. Akibatnya, dampak program tersebut sering kali tidak signifikan dan gagal menciptakan perubahan yang berkelanjutan.
Untuk mengatasi hal ini, Kemendikbudristek melalui Merdeka Belajar Episode Ke-17: Revitalisasi Bahasa Daerah telah meluncurkan program revitalisasi yang pada tahun 2023 menargetkan 59 bahasa daerah di 22 provinsi. Program ini bertujuan tidak hanya melestarikan bahasa daerah, tetapi juga menumbuhkan rasa bangga di kalangan generasi muda sebagai penutur aktif.
Inisiatif ini menjadi langkah awal yang penting, karena keberlanjutan bahasa daerah sangat bergantung pada keterlibatan generasi muda yang sering kali terpapar oleh globalisasi dan cenderung beralih ke bahasa Indonesia atau bahasa asing.
Seperti yang ditegaskan oleh Badan Bahasa, revitalisasi ini berfokus pada penguatan identitas budaya melalui pembelajaran kontekstual yang relevan dengan kehidupan modern, serta kolaborasi dengan komunitas lokal untuk memperkuat daya hidup bahasa daerah (Kemendikbudristek, 2023).
Lebih dari sekadar melestarikan, bahasa daerah memiliki potensi ekonomi yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Inovasi teknologi dan kreativitas dapat membuka peluang baru dalam memanfaatkan bahasa daerah sebagai aset ekonomi.