Lihat ke Halaman Asli

Pesta Demokrasi Menjadi Ladang Subur Bagi Hoax

Diperbarui: 30 Mei 2017   17:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia tidak bersih dari adanya hoax yang bercecer di jejaring sosial dan internet, yang biasa diartikan sebagai sebuah berita kebohongan atau palsu yang menyamar sebagai kebenaran. Lebih jelasnya dalam Republika.co.id, 11 Januari 2017, Muhammad Alwi Dahlan selaku Ahli Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) menjelaskan bahwa hoax merupakan berita atau kabar yang sudah direncanakan oleh penyebarnya, yang disengaja dimanipulasi untuk memikat perhatian masyarakat guna memberikan pemahaman yang salah. Selanjutnya, Hoax saat ini sangat mudah menyebar lewat kecanggihan tekonologi masa globalisasi. Berkenaan dengan hal itu, pemilu serta pilkada menjadi salah satu sasaran hoax yang dinilai sangat menguntungkan dalam menarik perhatian masyarakat. Dalam pemilu maupun pilkada, hoax diedarkan untuk mematikan pasangan calon yang menjadi lawan untuk memenangkan pasangan calon yang didukung oleh si pembuat hoax.  Dengan demikian hoax dalam hal tersebut menjadi satu rangkaian yang kerap terjadi yang seharusnya tidak perlu ada

Selanjutnya berbicara mengenai hoax dalam pemilu maupun pilkada, hoax dalam hal tersebut sering digunakan untuk menjatuhkan lawan dalam meraih kemenangan. Berita palsu yang mengandung kebohongan dijadikan alat kampanye yang terselubung. Dapat dilihat didunia internet ketika musim pemilu dan pilkada, berita-berita tersebut berhamburan dimana-mana yang alhasil sering membuat kondisi masyarakat memanas. Selanjutnya mudahnya hoax tersebut menyebar salah satunya dikarenakan budaya copy-paste tanpa memikirkan secara mendalam kebenaran tentang pernyataan yang ditemui. Mayoritas para copy-paste juga kurang akan membaca banyak berita serta kurang mendalami kejadian dengan berfikir radikal. Sehingga yang terjadi mereka mudah percaya dan ikut menyebarkannya tanpa mencari referensi untuk menguji kebenarannya.

Ketika masyarakat ikut menyebarkan berita hoax dengan cara copy-paste, sejatinya dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut masih terbelenggu dalam pemikiran yang tidak sesuai dengan teori kritis. Dimana akal pikirannya masih diperbudak oleh hoax bahkan oleh si pembuat hoax. Kenapa? Karena kritik untuk membenarkan berita tersebut tidak terlontar, yang ada malah semakin disebar dengan cara copy-paste. Berhubungan dengan hal itu, hoax dalam pemilu serta pilkada harus dibedah secaca kritis. Dengan kata lain dicari fakta kebenarannya yang tidak hanya berdasar fakta data inderawi bersama logika seperti neo-positivisme yang mendewakan fakta (Sindhunata,1983:89). Namun juga ditelaah secara mendalam mengenai subyek yang mempengaruhi fakta seperti yang dikatakan oleh teori kritis.

Disaat masyarakat menyebar luaskan berita hoax yang berkenaan dengan pemilu maupun pilkada, secara sedikit demi sedikit sama halnya mengganggu keharmonisan masyarakat. Masyarakat sama saja dipicu untuk saling bermusuhan oleh hasutan dari hoax tersebut. Tidak hanya itu, antar pendukung pasangan calon dalam pemilu dan pilkada juga dapat diadu domba oleh hoax. Ketika keharmonisan masyarakat terganggu, disitulah menjadi peluang untuk kelompok radikal memanfaatkan suasana tersebut untuk merenggangkan NKRI. Seperti yang diungkapkan oleh Yusni Saby selaku Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Aceh, bahwa kelompok radikal sangat pintar memanfaatkan hoax untuk melakukan provokasi guna memecah belah NKRI. (Syafirdi, Didi. Merdeka.com, 1 Maret 2017). Maka dari itu, dibutuhkan kekritisan berpikir masyarakat dalam menangapi berita-berita berita hoax terkait  demokrasi tersebut.

Adapun hoax yang menyangkut pesta demokrasi dapat terlihat dalam berita-berita yang menyangkut pilkada DKI Jakarta 2017. Dimana dalam berita tergambar bahwa hoax mengganggu keharmonisan masyarakat serta kelancaran acara demokrasi yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Beberapa hoax tersebut diantaranya ialah, pertama hoax berupa beredarnya gambar e-KTP ganda yang meresahkan masyarakat. E-KTP tersebut atas nama Mada, Saidi, dan Sukarno, dengan alamat berbeda namun foto identitasnya sama. Sehingga masyarakat banyak melakukan protes terkait dengan hal itu karena menganggap terdapat orang yang memiliki beberapa KTP dalam mengikiti pildaka DKI Jakarta. Koordinator Divisi Hukum Penindakan dan Pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta menjelaskan bahwa (Nomor Induk Keluarga) NIK dalam e-KTP tidak ada yang sama. Tambahan pula bahwa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga menegaskan bahwa foto pada e-KTP tersebut palsu. Dengan demikian, hoax tersebut yang sudah menyebar dengan mudah secara tidak langsung menambah masalah yang juga berpengaruh dalam jalannya pilkada.

Kedua, hoax berbau politik serta menyangkut agama juga mewarnai pilkada DKI Jakarta. Hoax mengenai foto Ahok yang berjabatan dengan Raja Salman saat kunjungannya ke Indonesia. Foto tersebut dikatakan palsu hingga terdapat untaian kalimat dari pengguna akun salah satu media sosial bahwa haram bagi raja untuk bersalaman dengan penista agama. Selain itu juga banyak analisis yang menyatakan bahwa foto itu palsu. Hoax tersebut tersebar luas. Padahal foto tersebut merupakan foto asli yang diambil oleh fotografer kenegaraan. Akan tetapi, masyarakat telah menyebarkan hoax terkait hal tersebut dan memperparah kepanasan kondisi masyarakat akibat masalah Ahok terkait dengan penistaan agama. Terlihat jelas bahwa para pembuat hoax ingin serta penyebarnya hanya berfikir mengikuti keegoisan ketidaksukaannya terhadap Ahok yang tidak berdasarkan data-data yang ada dalam kenyataannya. Dengan kata lain, kekritisan berpikir dalam menyebarkan hoax bahwa foto itu palsu kurang dimiliki sehingga memperkeruh suasana yang ada di masyarakat.

Ketiga, hoax mengenai Ahok yang melakukan Kristenisasi. Dimana terdapat beberapa orang berpendapat mengenai denah masjid raya pertama milik pemerintah daerah di Jakarta yang baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo dinyatakan tampak seperti salib. Dengan hal itu muncul dalam masyarakat sama halnya menjelekkan nama Ahok serta menyalakan api dalam masyarakat yang beragama Islam untuk menyerang Ahok. Lagi-lagi hoax muncul untuk menghancurkan suasana yang damai. Tidak hanya itu, para penyebar hoax yang menyetujui juga melupakan kekritisan berpikir tentang hal tersebut. Oleh karena itu, hoax sangatlah mudah mengadu domba antara pendukung Ahok dan pendukung non Ahok yang bisa jadi berujung perpecahan diantara masyarakat.

Keempat, tidak hanya Ahok saja, Anies Baswedan pun juga mendapat tambahan bumbu dari hoax. Hoax tersebut berbentuk poster yang menyebar didunia online. Poster tersebut berisikan ungkapan bahwa jika Anies Baswedan kalah pemilu, akan ada Muslim yang berevolusi yang disertai dengan gambar yang berbau provokatif orang yang mengenakan pakaian putih serta memegang pedang. Poster palsu tersebut dapat memicu pertentangan dari kedua belah pihak antara si pro Ahok dan si pro Anies. Selain itu juga terdapat bau menjatuhkan serta ancaman untuk kemenangan Ahok. Dalam menyikapi hal tersebut benar-benar diperlukan pikiran yang kritis agar tidak menumbuhkan kegiatan copy-pasteuntuk menyebarkan hoax tersebut. Alhasil ketika masyarakat tertipu oleh hoax serta masyarakat mendukung berita bohong tersebut, kerugiaan tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu, pesta rdemokrasi dapat dikatakan tidak berjalan baik karena pandangan akal serta pikiran mendalam yang sesuai telah musnah digantikan oleh hoax dalam pemilih memilih calon pemimpin.

Itulah beberapa bukti-bukti hoax yang tumbuh dalam pesta demokrasi dalam Indonesia. Itu hanya mewakili segelintir kecil dari banyaknya hoax yang tersebut didunia maya. Pada dasarnya, hoax hanya membutakan masyarakat untuk berpikir yang sesuai dengan kenyataan serta menghambat jalannya proses pemilu serta pilkada di Indonsia. Dari bukti-bukti diatas tersirat penjelasan mengenai pembelahan yang telah terjadi di lingkup masyarakat. Dengan kata lain, terdapat adu mencari kesalahan serta adu ketangguhan kebaikan atau pencitraan yang baik untuk mencapai kemenangan dengan lewat tersebarnya hoax tersebut. Akhirnya dari hal tersebut dapat menimbulkan benih perpecahan antar masyarakat.

Selanjutnya, suburnya hoax dalam ladang pemilu maupun pilkada dapat dikarenakan beberapa hal, diantaranya ialah seperti yang dikatakan oleh Titi Anggraeni selaku Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (perludem). Pertama ialah masalah persebaran hoax di media sosial yang tidak dapat dijangkau oleh peraturan akibat pemaknaan yang kurang akan penegakan hukum. Padahal Undang-Undang telah mengatur dengan jeals dalam Pasal 69 mengenai larangan untuk menghasut, mengadu domba, maupun memfitnah partai politik, perseorangan dan juag kelompok masyarakat dalam kegiatan kampanye pilkada maupun pemilu. Namun kenyataan hukum belum berdiri tegak dalam menindakan hoax dimedia sosial. Dan buktinya masih banyak hoax-hoax seperti yang telah tersebutkan diatas.

Kedua ialah belum tumbuhnya keinginan serta komitmen dari pasangan calon peserta pemilu serta pilkada untuk memerangi hoax yang datang. Ketika keberadaan hoax diinginkan pastilah yang ada saling mengadu domba, memfitnah guna menjatuhkan untuk menang. Berbeda dengan ketidak inginan hoax itu muncul, hal tersebut akan membawa pesta demokrasi yang diinginkan oleh undang-undang guna menyejahterakan masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline