Lihat ke Halaman Asli

Dwi Lestari Wiyono

Pekerja di industri Food and Beverage yang menyukai dunia kepenulisan

Menutupi Luka dengan (Sebuah) Senyuman

Diperbarui: 29 Agustus 2024   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Dwi Lestari Wiyono 

Oleh: Dwi Lestari Wiyono 

Memaafkan namun tidak untuk melupakan. Bagaimana bisa untuk dilupakan jika peristiwa yang sangat tidak mengenakan terjadi tepat di hadapanmu bukan hanya satu atau dua kali bahkan sering. Inilah kisah sebenarnya dari seorang ibu yang telah menjadi pahlawan bagi keluarganya.

Dia adalah Ibu Ani (68 tahun) sebut saja begitu, seorang ibu yang dengan sabarnya merawat anaknya yang sudah di usia dewasa (30an tahun) dari gangguan mental berat atau skizofrenia. Tidak pernah terpikirkan oleh Ibu Ani bahwa salah satu dari anak tercinta mengidap penyakit tersebut. Gejala awalnya adalah kerap berargumen - berbicara sendiri dengan topik yang sama sekali tidak masuk akal, kerap mengamuk, membuat kegaduhan dengan halusinasi serta delusi yang hanya dirasakan oleh anak tersebut. Meracau, bercerita yang jika orang "biasa" mendengarnya akan dengan mudah menyimpulkan; hanyalah cerita orang gila. Bercerita sesuatu yang tidak masuk akal dan membenarkan perilakunya, beranggapan seolah-olah bahwa apa yang ia yakini atau rasakan (halusinasi dan delusi) memang benar adanya. 

Ada sebuah kejadian yang masih membekas di ingatan Ibu Ani, sebuah peristiwa yang terjadi di suatu malam di mana rumah tempat tinggal Ibu Ani didatangi oleh sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari 6 orang. Mereka - kelompok orang tersebut, dengan arogannya mengatakan sangat terganggu dengan ulah anak Ibu Ani yang kerap berteriak tak mengenal waktu dan menghina salah satu institusi yang tentu saja itu adalah halusinasi dan delusi yang anak Ibu Ani benarkan. Mereka berkata, "Orang gila tidak seharusnya tinggal di situ," tentunya dengan nada arogan. 

Ibu Ani sangatlah bersyukur karena Tuhan - Allah SWT selalu bersama mereka, di antara lebih dari 6 orang itu ada 1 orang yang menjadi penengah - mengerti kondisi anaknya yang tidaklah sehat, orang tersebut memberi penjelasan tentang situasi, keadaan dari anak Ibu Ani dan menenangkan serta membubarkan kearoganan kelompok mereka malam itu juga. 

Saya bertanya pada Ibu Ani, Apa ibu Ani masih mengingat wajah-wajah terutama wajah utama dari kelompok arogan? Ibu Ani menjawab, Mata Ibu kurang awas neng, ibu tidak melihat jelas.

Saya pun kembali bertanya, Apa Ibu sempat memfoto atau mendokumentasikan peristiwa pada malam tersebut? Ibu Ani menjawab dengan nada yang sudah ikhlas, Mana sempat neng, tidak kepikiran ke sana. Ironi. Penghakiman yang sungguh tidak manusiawi.

Puncaknya saat anak Ibu Ani membuat kegaduhan yang mengancam keselamatan jiwa, orang di sekitarnya. Anak Ibu Ani yang lain langsung meminta bantuan salah satu kawan dekatnya yang ternyata adalah seorang dokter yang mengirim Dinas Sosial beserta Puskesmas setempat. Diagnosa pun didapat. Setelah penanganan awal (pemberian obat) di Puskesmas akhirnya diputuskan akan merujuk anak Ibu Ani yang tidak dalam kondisi baik berobat ke rumah sakit jiwa atau dokter jiwa untuk mendapatkan penanganan yang lengkap.

Selang beberapa bulan yang jika dirunutkan cerita dari Ibu Ani secara detail akan memakan beberapa halaman panjang, anak Ibu Ani dinyatakan sembilan puluh persen telah pulih dari kondisi awalnya berkat kasih sayang, kesungguhan keluarga dalam mendampingi. Saya yang mendengar cerita dari Ibu Ani mengucap syukur sangat dalam kepada Tuhan - Allah SWT atas keajaiban yang Ia torehkan. Dukungan keluarga utamanya dalam proses kesembuhan amatlah penting. Pemberian obat secara rutin pun tidak kalah penting karena itu amatlah membantu untuk mengendalikan serta mengurangi gejala.

Untuk Ibu Ani (68 tahun) yang bukan nama sebenarnya, Ibu sangat hebat. Sehat selalu dan diberi kekuatan selalu oleh Tuhan - Allah SWT. Tuhan - Allah SWT tidak tidur, hanya menunggu waktu yang tepat. Dan untuk mereka yang telah melakukan penghakiman secara mandiri, Dimana naluri kalian? Dimana otak kalian? Semoga hukum tabur tuai nyata adanya. Ibu Ani, Ibu sangatlah hebat. Peluk, peluk dan peluk selalu untuk Ibu dan keluarga. Tuhan - Allah SWT tidak tidur, hanya menunggu waktu yang tepat. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline