Oleh : Dwi Lestari Wiyono
Aku tak mungkin menilai seseorang secara sepihak. Analoginya penampilan pun berperan penting.
"Menurutmu, apa yang dilakukan orang itu, seorang wanita yang baru saja keluar dari bank milik pemerintah?"
"Tentu saja melakukan transaksi di bank tersebut. Terlihat jelaskan, kalau tidak mengambil uang mungkin mengajukan pinjaman atau hal lainnya."
"Kau kali ini salah besar Mikael."
Perbincanganku dengan iblis membuka penglihatan wawasanku. Kuakui sebelumnya aku tak begitu pandai dalam menilai karakter seseorang dan aku bukan tipikal orang yang suka mengutak-ngatik urusan pribadi seseorang.
"Lihatlah lebih dalam. Bukankah aku sudah pernah mengajarimu? Tolong asah kepekaanmu."
"Wanita itu memang secara fisik ia baru saja keluar dari bank. Tapi apa kau tahu Mikael apa yang sebenarnya terjadi?"
"Lihatlah lebih dalam. Jangan kau lihat keramahannya saat bertegur sapa, jangan kau lihat aura hangat yang memancar dari tubuhnya. Lihatlah lebih dalam Mikael ...."
"Aku tak mengerti iblis. Yang jelas itu bukan urusanku. Bukan urusan kita, bukan urusan kau dan aku. Ayolah ... jangan buang-buang waktu kita hanya untuk hal yang tidak penting ini iblis."
"Mikael! Kau berargumen denganku, kau sering mendebatku bilamana pemikiranku tak sejalan denganmu. Kau selalu bilang, logikanya. Logikanya. Selalu itu yang kau katakan. Aku bosan mendengar sanggahanmu. Mengapa kau belum juga mengerti Mikael. Aku bertanya padamu."
"Aku ... tidak bermaksud menyinggungmu iblis. Maaf, maafkan aku iblis."
"Kujelaskan, kuberitahu secara singkat ia, wanita yang terbilang ramah tersebut baru saja melakukan tindakan kriminal terselebung. Menarik uang yang bukan haknya dengan tipu muslihat; sebuah tanda tangan palsu. Terlintaskah dibenakmu."
Ia (iblis) membuka, menambah wawasanku atas nama dunia. Panjang kali lebar bukan hanya panjang kali lebar atau sebaliknya. Kau harus terlebih dahulu melihat ukuran dari bangunan tersebut. Apakah itu memang benar bangunan panjang kali lebar? Ataukah bangunan sisi kali sisi? Penampilan, kesan pertama memang menempati urutan pertama ketika kita menilai seseorang. Tidak salah, tidak juga dapat dibenarkan. Hanya saja bila masuk ke dalam ranah yang lebih jauh, setidaknya kenalilah lebih dalam bukan saja memakai logika, mata, analisis bercampur napsu semata. Pakai hatimu, pakai analisis hatimu sebagai tolak ukur sebuah kebenaran. Kita tidak sedang berbicara tentang bagaimana atau apa saja hal yang termasuk menyekutukan Tuhan. Kita hanya berbicara mengenai cara melihat, menilai dunia dengan cara berbeda. Jangan hakimi aku hanya karena pakaianku tak layak. Jangan jatuhkan palu padaku hanya karena aku gemar mengumpat. Lihat aku lebih dekat. Lihat aku lebih jauh, lebih dalam dengan kedalaman hatimu. Aku bukan orang jahat sepenuhnya meskipun kau melihatku berlumuran darah. Aku bukan orang jahat sepenuhnya meskipun di matamu aku menyekutukanNya. Lihat aku lebih dalam.
***
Apa arti dari cahaya? Apa makna dari kata tersebut? Cahaya bisa bermakna banyak. Bisa berarti warna bisa juga merujuk pada ketuhanan. Apa makna cahaya baginya?
Pria asing itu gemar memakai kata cahaya dalam perbincangannya kala itu. Iblisku pun gemar, kerap kali memakai, menyebut kata cahaya. Aku masih memaknainya.
***
Bilamana embun menetes di kala pagi bukan berarti kedamaian akan selalu menyelimuti dunia. Dunia akan terlihat sama manakala kau membuka matamu. Pergi dan pulang selayaknya rutinitas seorang mentari. Terbit ..., tenggelam sesuai waktunya sesuai pengaturannya. Hargai waktumu, hargai hidupmu sebelum kau menjadi seperti aku, mati dalam dosa. Aku berkubang pada tanda tanya. Aku berkubang pada dosa yang masih kupertanyakan mengenai kebenarannya. Bilamana berkenan pertemukan aku dengan pria asing itu untuk memberikan sebuah petunjuk. Iblisku, di mana iblisku. Ssttt ... ini adalah rahasia.
bersambung ...
(2017/2024)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H