Oleh: Dwi Lestari Wiyono
Kapan kau tidak berbohong?
Kapan kau tidak bersandiwara?
Aku mengenali caramu melalui debaran bergemuruh di dada ini
Kau berbohong
Kau pun berdusta
Itu bukan nada simpati
Itu nada suka sebuah pelecehan terselubung
Kau bersembunyi di balik ragamu yang mempesona
Kau bersembunyi dibalik duka yang kau perlihatkan kau pertontonkan pada dunia
Aku berharap kau menemui ajalmu dengan caramu sendiri
Langit tak bungkam mematung membatu; statis - ia hanya menunggu waktu.
Langkahku kutapaki untuk kesekian kalinya
Tap ... tap ...
Ini sudah langkah keberapa, anak anakku menanti di rumah
Kurogoh kantung celana usangku,
Alamak ... cukupkah uang untuk hari ini
Nelayan pergi melaut mencari ikan, mereka pergi mencari makan sama halnya denganku yang berpeluh resah menantang sang surya.
Ting ... gegenting, perutku lapar mendesak untuk diisi, nak adakah barang di rumah ini yang bisa kita jual untuk membeli beras
Ting ... gegenting, makanlah nak walau bertemankan hanya dengan satu gorengan saja
Ting ... gegenting, bang ... bang soto bang haji bisakah aku membeli hanya kuahnya saja uangku hanya mampu sebatas itu
Ting ... gegenting, menangis sudahlah kini perutmu kenyang nak.
Ada warna yang tergores secara alami
Ada pula warna yang digoreskan secara terpaksa
Aku tidak menginginkan itu ibu, aku menginginkan warnaku berpendar secara alami sesuai goresan alam untukku
Bila langit terang beri aku kebahagiaan
Bila langit mendung kumohon lindungi aku agar aku tak terluka.
Langit
Hujan
Cahaya
Berkahi aku agar aku bisa memberi warna pada dunia
Langit,
Itukah namamu.
(2017/2023)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H