Oleh: Dwi Lestari Wiyono
"Terimakasih ucapku padamu tuan karena telah memberikan seribu nyawa padaku."
***
Aku berkelana seperti kebiasaanku pada umumnya, mengulang langkah menelusuri jejak setapak demi setapak. Adalah aku seorang pria penyendiri bersikap layaknya seorang filsuf; pemikir sejati. Adalah aku seorang pria yang terkadang merasa seperti seekor katak dalam tempurung hanya karena aku tidak bisa menguraikan masalahku dengan bijak. Menjadi berbeda bukanlah suatu keistimewaan bagiku, bahkan aku cenderung menjadi takut bilamana apa yang terjadi sesuai; nyata dan sama persis dengan apa yang terlihat olehku. Aku tahu berkat ini perlahan membelengguku dengan atau tanpa kusadari. Berkat yang diberkati.
"Ivone sudah kau kemasi barangmu? Jadwal keberangkatanmu tak lama lagi sayang, bersiaplah."
Hujan deras bercampur angin kembali mengguyur kota kecil ini; kota mungil, kota berjuta kenangan yang selama ini kurindukan.
"Ini tak seperti ibu kota, aku suka ini bu, kita ambil tempat ini."
Ini kota di mana aku harus menetap. Tata letaknya sama persis dengan apa yang kupikirkan, lanskapnya membayangiku entah apa. Aku akan menemukan apa yang kucari di kota ini. Akan kutemukan. Pasti kutemukan.
"Ivone sarapanmu sayang, ibu sudah membuatkan roti lapis kesukaanmu extra selai kacang plus taburan kacang almond didalamnya."