Salah satu peran penting anggaran sektor publik adalah sebagai alat penilaian kinerja. Keberhasilan pelaksanaan anggaran seharusnya dinilai berdasarkan keberhasilannya dalam melaksanakan kegiatannya, dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan.
Sehingga anggaran dapat digunakan sebagai instrumen yang mampu menunjukkan kinerja pemerintah, serta keterkaitannya dengan transparansi dan akuntabilitas. Keterlibatan masyarakat dalam proses tata kelola anggaran disebut sebagai partisipasi publik, yakni suatu mekanisme menciptakan ruang publik yang memungkinkan masyarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penyampaian aspirasi secara langsung dilakukan melalui mekanisme Musrenbang, sedangkan penyampaian asprasi secara tidak langsung melalui legislatif sebagai representasi dari masyarakat di daerah.
Nyatanya proses bottom up tidak berjalan sepenuhnya, Hal ini mengingat proses penganggaran hanya dijalankan sebatas formalitas penyampaian informasi atau dalam kata lain sebatas sosialiasi.
Kondisi tersebut terjadi karena kebijakan terkait pengganggaran telah selesai pada level pemerintahan dan publik ditempatkan sebagai pihak yang perlu diberitahu, bukan pihak yang perlu dilibatkan. Kebijakan yang mengatur secara khusus terkait pelibatan publik dalam setiap tahapan perencanaan dan pembangunan daerah, khususnya terkait dengan anggaran daerah, memang sudah ada dan berjalan.
Salah satu bentuk dari kebijakan tersebut ialah forum Musrenbang yang dilaksanakan di berbagai level. Namun pada praktiknya kebanyakan dari proses pelibatan publik tersebut, tidak benar-benar melibatkan dan mengakomodir aspirasi publik.
Aktivitas tersebut cenderung hanya sebatas rutinitas pelaksanaan kebijakan dan menjadikan aktivitas tersebut sebagai formalitas rutin. Pada akhirnya, keterlibatan publik pada setiap proses dari perencanaan dan pelaksanaan anggaran tidak dimaknai sebagai partisipasi melainkan sebatas sosialisai.
Kondisi ini dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya ialah masih diadopsinya cara pandang lama terkait perencanaan dan pembangunan daerah. Cara pandang yang menganggap bahwa publik ditempatkan sebagai pihak yang tidak perlu dilibatkan terlalu jauh dengan anggapan bahwa publik tidak memiliki kapasitas dalam hal tersebut.
Padahal anggaran daerah pada hakikatnya merupakan anggaran publik. Sehingga berimplikasi pada keharusan adanya transparasi dan partisipasi publik dalam setiap prosesnya. Faktor lainnya ialah adanya kontestasi kepentingan. Anggaran bukan hanya sebagai produk kebijakan semata, melainkan sebagai produk politik.
Hal ini didasari keterlibatan berbagai aktor yang memiliki kepentingan atas anggaran daerah tersebut. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa minimnya partisipasi publik juga dipengaruhi oleh dominannya kelompok kepentingan dalam proses perencanaan dan pembangunan daerah. Seringkali kelompok kepentingan tersebut tidak dimotivasi oleh kepentingan publik, namun lebih bersifat keuntungan kelompok.
Faktor-faktor tersebut pada akhirnya turut membentuk karakteristik proses bottom up yang tidak berjalan maksimal. Dan menyebabkan nuansa pelibatan publik menjauh dari tujuan awalnya. Faktor publik dalam membuat keputusan perencanaan dan pengganggaran berdasarkan aturan yang ada memang hanya memiliki ruang gerak yang sempit. Masyarakat hanya dijaring aspirasinya akan tetapi tidak terlibat dalam keputusanya.