Lihat ke Halaman Asli

Impor Pangan Indikator Ketidakseriusan Pemerintah Merevitalisasi Sektor Pertanian

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah tidak serius untuk menterjemahkan secara detail konsep revitalisasi sektor pertanian. Impor pangan adalah indikator ketidakseriusan pemerintah tersebut. Di samping itu, bukti ketidakseriusan pemerintah terlihat dari nilai tukar petani (NTP) yang cenderung mengalami penurunan.

Demikian pernyataan Anggota DPR Komisi IV Viva Yoga Mauladi dalam diskusi akhir tahun Akbar Tandjung Institute (ATI) bertajuk "Kebijakan Pertanian di Tengah Pragmatisme Politik" di Jakarta, Jum'at (23/12) lalu.

Menurut Viva Yoga Mauladi, pada tahun 2012, kondisi kebijakan pangan nasional tidak akan berubah secara signifikan. Krisis pangan masih terjadi, dan ditopang dengan impor yang tidak diatur secara baik dan tidak memproteksi petani.

"Setiap tahun, pemerintah Indonesia mengeluarkan devisa setara kurang lebih Rp 50 trilyun untuk mengimpor komoditas pangan," ujar Viva Yoga yang juga politisi Partai Amanat Nasional itu. Adapun nilai impor komoditas pangan dimaksud, sambung Viva Yoga, meliputi: kedelai sebesar Rp 5,97 trilyun, gandum Rp 22,5 trilyun, gula Rp 8,59 trilyun, susu (bahan baku dan olahan) Rp 7,95 trilyun, daging sapi Rp 4,8 trilyun dan garam Rp 900 milyar.

Mengenai kegemaran impor komoditas pangan di atas, menurut Viva Yoga Mauladi, disebabkan ada pihak-pihak tertentu yang mencari keuntungan dari kebijakan impor karena harga komoditas pangan dan hortikultura di pasaran internasional merupakan sutu barang yang tidak berlaku lagi di negara produsesn (residual goods). Atau barang kadaluwarsa di stok nasional atau over produksi sehingga dijual di pasar dengan harga murah.

Di samping itu, kata Viva Yoga lebih lanjut, kesukaan impor komoditas pangan juga merupakan kerjasama antara pengambil kebijakan dengan pihak swasta. Di mana kebijakan yang diambil tanpa mempertimbangkan kepentingan negara dan petani. Ia lantas mengajukan pertanyaan retoris, "Di saat petani panen raya, pemerintah melakukan impor. Mengapa?"

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline