Lihat ke Halaman Asli

Puasa Selama 24 Jam Penuh

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi kita di Indonesia yang tinggal di daerah tropis, waktu tempuh (durasi) menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan kurang lebih 12 jam. Sedangkan di wilayah lain  beriklim sub-tropis di sebelah utara atau selatan garis khatulistiwa yang memiliki 4 musim, ibadah puasa yang dilakoni tergantung musim yang tiba. Jika jatuh di musim panas, maka siang hari lebih lama ketimbang malam hari. Dengan demikian puasa yang dijalankan lebih lama. Bisa 16 jam, 18 jam atau bahkan lebih. Pula sebaliknya jika jatuh di musim dingin, ibadah puasa yang dijalankan  lebih pendek atau kurang dari 12 jam.

Namun demikian, atas kehendak Allah SWT semata, perhitungan kalender hijriah yang dianut umat Islam berbeda dengan kalender masehi (gregorian), di mana 1 tahun hijriah akan selalu berbeda jumlah harinya. Perbedaan ini mengakibatkan efek rotasi bumi dan pergiliran musim  terutama bagi mereka yang tinggal di daerah sub-tropis. Sehingga datangnya bulan Ramadhan akan bergiliran antara musim panas dan dingin. Bagi kaum yang mau berpikir, di sinilah letak keadilan Yang Maha Pemurah, bahwa suatu wilayah tidak akan selamanya mendapati Ramadhan di musim panas saja. Dan sebaliknya tidak selalu di musim dingin. Senantiasa ada pergiliran setiap sekian tahun sekali di mana Ramadhan datang di musim panas, akan tetapi terkadang Ramadhan datang di musim dingin.

Bagaimana dengan wilayah yang mengalami siang selama 24 jam dalam sehari pada waktu tertentu dan sebaliknya mengalami malam selama 24 jam dalam sehari?  Menurut lembaga fiqih  internasional, Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami dan Hai`ah Kibarul Ulama di Mekkah al-Mukarramah Saudi Arabia, dalam kondisi semacam itu, masalah jadwal puasa dan juga shalat disesuaikan dengan jadwal puasa dan shalat wilayah yang terdekat dengannya di mana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya.

Bagaimana wilayah yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh? Kedua lembaga fiqih tersebut berpendapat, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat `isya-nya saja dengan waktu di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa, disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega itu.

Sedangkan soal ketiga, bagaimana dengan wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya? Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. “Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih (khaith abyadh) dari benang hitam (khaith aswad), yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.” (QS. Al-Baqarah : 187).

Pendapat kedua lembaga fiqih internasional di atas mendapat sanggahan tatkala disodorkan fakta  puasa di daerah ekstrim. Yakni adanya perbedaan siang dan malam yang sangat mencolok di mana malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau sebaliknya, dimana siang hanya terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan? Terbayangkah seseorang melakukan puasa di musim panas dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit. Atau sebaliknya di musim dingin, dia berpuasa hanya selama 15 menit?

Atas pertanyaan di atas, dikemukakan pendapat lain sebagai berikut. Pertama, mengikuti waktu hijaz. Jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di kutub utara dan selatan.

Kedua, mengikuti Waktu Negara Islam terdekat Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat. Dimana di negeri ini berpemerintahan sultan/khalifah muslim.

Lantaran hasil ijtihad para ulama, tentu saja kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Ketika dihadapkan pada persoalan di atas, kita boleh memilih pendapat mana yang dirasa baik dan tidak memberatkan. Dalam ajaran Islam yang kita yakini, Allah SWT tidak akan memberatkan kesanggupan seseorang di luar batas kemampuan yang dimiliki.

***

Berpijak dari hal yang telah kami kemukakan di atas, tanpa kita sadari, seiring perputaran malam dan siang selama bulan Ramadhan ini, dan adanya perbedaan waktu antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, kita (saya dan anda di suatu belahan bumi yang lain) secara kiasan menjalankan ibadah puasa selama 24 jam penuh. Maksud saya, misalnya, sekalipun saya di Indonesia sudah berbuka puasa, muslim di Sri Langka, India dan Pakistan masih menjalankan ibadah puasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline