Lihat ke Halaman Asli

Mengenang Para Wartawan Senior Solo Era 1990-an

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makam Almarhum Gojek Joko Santoso

[caption id="attachment_2890" align="alignleft" width="300" caption="Makam Almarhum Gojek Joko Santoso"][/caption]

APABILA ada wartawan, budayawan, guru sekaligus sahabat baik yang patut saya kenang dalam hidup, salah satunya Almarhum Gojek Joko Santoso. Almarhum saya kenang lantaran ilmu-ilmu praktis yang ditularkannya dalam bidang kejurnalistikan.

Sebagai wartawan sekaligus Kepala Perwakilan Harian Suara Merdeka untuk wilayah Eks-Karesidenan Surakarta, Gojek merupakan tipe wartawan-budayawan gaul. Pergaulan kesehariannya melintasi sekat-sekat generasi. Kepada siapa dan dari manapun latar belakangnya, ia "nyambung" dalam pembicaraan. Orangnya agak nyentrik. Sering bercanda ketimbang seriusnya, dan kalau bicara apa adanya tanpa "tedeng aling-aling". Ia juga tidak pelit menularkan pengalaman jurnalistiknya kepada para yunior-yunior yang menyambanginya.

Mahasiswa-mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip UNS Solo yang tengah Praktek Kerja Lapangan (PKL) di kantor Perwakilan Harian Suara Merdeka di Jalan Ronggowarsito Solo di awal-awal dekade 1990-an, pasti punya kesan sama atas dedikasinya itu. Dan saya rasa, itulah amal kebaikan almarhum yang akan senantiasa dikenang para yuniornya.

Gojek berpandangan bahwa yunior-yuniornya sudah dibekali teori-teori komplit dalam kejurnalistikan. Karenanya ia memberikan keleluasaan sebesar-besarnya kepada para yunior untuk menggali lebih dalam lagi teknik-teknik yang dipelajari di bangku kuliah. Space yang luas juga diberikan untuk mengisi rubrik-rubrik yang ada di "Halaman Surakarta dan sekitar" Harian Suara Merdeka. Yang terkadang, wartawan resminya sendiri diminta untuk "mengalah", space yang ada dipakai para mahasiswa magang tersebut.

Kepada para mahasiswa magang, Gojek senantiasa menekankan agar tatkala membuat reportase, mahasiswa tidak terpaku pada peristiwa yang dilihat, didengar dan dirasakannya. Tetapi mengembangkan latar peristiwa, dengan menggali urutan dan hubungan-hubungan yang terkait atas peristiwa itu serta memperkayanya dengan referensi yang relevan.

Sebagai contoh, misalnya, ada seminar mengenai "Solo sebagai Kota Pariwisata Seks Indonesia". Menurut Gojek, jika hanya melaporkan kepada khalayak melalui reportase hanya dengan apa-apa yang dilihat, didengar dan dirasakan pada seminar itu, maka reportase yang dibuat nampak datar dan kurang berisi. Namun, kata Gojek selanjutnya, apabila diperkaya dengan bacaan yang relevan, dan bisa menempatkannya dengan pas dalam reportase yang dibuat, maka tulisan itu seolah-olah menjadi hidup dan menarik.

Lantaran kebijakan dan trik-triknya itu, tidak jarang reportase yang dibuat para mahasiswa magang tersebut bisa tampil di headline halaman satu Harian Suara Merdeka. Bagai mahasiswa magang, tampil di halaman satu merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Makanya tidak heran, alumni magang selama kurang lebih tiga bulan di Harian Suara Merdeka itu, rata-rata sudah siap tatkala menjadi wartawan betulan.

Di kota Solo, pada dekade 1990-an, harian-harian yang memiliki kantor perwakilan atau biro seperti Kedaulatan Rakyat, Bernas, Kompas, Wawasan dan Jawa Pos sudah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi dan organisasi-organisasi (pelajar atau mahasiswa) yang ada. Bentuk konkritnya bukan hanya berupa diklat, worshop atau seminar jurnalistik melainkan praktek langsung sebagai wartawan magang.

Perlu juga ditambahkan disini, radio-radio swasta niaga yang ada di kota Solo saat itu juga membuka pintu selebar-lebarnya dalam kerjasama semacam. Mereka pun punya andil cukup besar dalam melahirkan penyiar radio handal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline