Lihat ke Halaman Asli

Menggugat Kecenderungan Politik Kartel Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menggugat Politik Kartel dari kiri Burhanuddin Muhtadi, Kuskridho Ambardi, Ganjar Pranowo, Syamsuddin Haris dan Dradjat Wibowo (dwiki file)

[caption id="attachment_2894" align="alignleft" width="240" caption="Menggugat Politik Kartel dari kiri Burhanuddin Muhtadi, Kuskridho Ambardi, Ganjar Pranowo, Syamsuddin Haris dan Dradjat Wibowo (dwiki file)"][/caption]

SEMENJAK reformasi bergulir pasca kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, partai-partai politik di Indonesia cenderung membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Bukti-bukti yang terkumpul menunjukkan adanya lima ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yakni: (1) Hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) Sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) Tiadanya oposisi; (4) Hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) Kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Kelima ciri tersebut, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.

Demikian gugatan yang dilontarkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskridho Ambardi, salah seorang narasumber, pada diskusi buku "Mengungkap Politik Kartel" di Grand Ballroom Hotel Kempinski Jakarta, Selasa siang (27/10). Diskusi buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) itu juga menghadirkan narasumber lainnya: Priy0 Budi Santoso (Wakil Ketua DPR-RI/Politisi Partai Golkar), Ganjar Pranowo (Wakil Ketua Komisi II DPR/Politisi PDI Perjuangan), Dradjat Wibowo (Politisi PAN), dan Syamsuddin Haris (Peneliti LIPI). Bertindak sebagai moderator, peneliti LSI Burhanuddin Muhtadi.

Lebih lanjut Kuskridho mengungkapkan, partai politik di Indonesia cenderung berkolusi ketimbang berkompetisi. Mereka membentuk sebuah kelompok yang memiliki kecenderungan untuk melayani diri sendiri dibandingkan secara individual mencoba mewakili beragam kepentingan kolektif yang ada di masyarakat.

"Kompetisi antar partai politik yang hadir dalam arena politik menghilang begitu partai politik memasuki arena pemerintahan (pembentukan kabinet) dan arena legislatif. Komitmen ideologis dan programatik partai memudar saat mereka membentuk koalisi pemerintahan," papar Kuskridho yang meraih gelar Doktor Ilmu Politik dari The Ohio State University pada 2008 itu.

Untuk menguatkan argumen dimaksud, katanya, koalisi yang terbentuk pun tampil sebagai koalisi bongsor (oversized coalition) yang dibarengi dengan absennya partai politik yang menjalankan fungsi oposisi.

"Penyebabnya, partai-partai tersebut secara kolektif memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, yakni untuk membiayai kegiatan-kegiatan politiknya. Untuk keperluan memobilisasi dana politik itulah mereka secara bersama melakukan kolonisasi terhadap kabinet pemerintahan dan kepemimpinan DPR karena posisi-posisi itu menyediakan rente ekonomi," tandas pengajar Fisipol UGM tersebut.

Sementara itu, Peneliti LIPI Syamsuddin Haris, menguatkan temuan-temuan mencengangkan dari buku yang berasal dari disertasi doktor Kuskridho Ambardi tersebut. Menurut Syamsuddin, gejala kartel terjadi di semua lini kehidupan politik. Hal yang demikian semakin diperparah oleh sikap masyarakat yang pragmatis. Karenanya mau tidak mau dan suka atau tidak suka, partai politik pun dituntut untuk menyediakan dana-dana politik dari kegiatan rente ekonomi.

Syamsuddin juga mengakui, pendanaan politik dari partai-partai yang ada menunjukkan gejala tidak sehat. Dan sumbernya pun berasal dari kalangan-kalangan terbatas. "Berpolitik memang memerlukan dana besar. Namun perlu juga dibarengi bahwa dana politik itu sumbernya bersih. Bukan sumber abu-abu dan hitam."

Dikatakannya pula, di Indonesia ini politik belum dimaknai sebagai pengabdian. Namun oleh beberapa kalangan dijadikan batu loncatan untuk mendapatkan status lebih tinggi, sembari memupuk kapital yang lebih besar. "Saya akan kutip kata-kata Bung Hatta bahwa jangan sampai terjadi partai politik menjadi tujuan, sedangkan negara hanya menjadi alatnya" ujarnya mengingatkan. (DSK: Dwiki Setiyawan Kompasiana)

*****

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline