Empat kali menjadi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), sejak Pilkada Provinsi DKI Jakarta 2008 hingga terakhir Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 beberapa hari lalu (9/7), membuat saya sedikit banyak tahu "sesuatu" yang terjadi di balik layar ajang demokrasi tersebut.
Beberapa saat setelah klaim kemenangan pasangan capres-cawapres berdasarkan hasil quick count (QR) di hari yang sama dengan pelaksanaan pilpres, kedua pasangan capres-cawapres diundang Kepala Negara Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di kediaman Cikeas.
Pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-M. Hatta Rajasa dan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla di hadapan wartawan seusai menghadiri undangan kepala negara menyampaikan pernyataan bahwa kemenangan mereka menunggu hasil real count (RQ) resmi penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil RQ --hasil resmi data 100 persen masuk dari data 100 persen jumlah TPS se-Indonesia-- diumumkan KPU pada Selasa 22 Juli 2014 mendatang.
Selanjutnya, berkaitan dengan tajuk tulisan ini hanya segelintir orang yang tahu: Apa dan Siapa yang tahu Pertama Kali Real Count Pilpres 2014? Jawabnya adalah Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara (disamping Kapolri dan Kepala BIN). Bisa jadi beliau tahu pada hari yang sama dengan pelaksanaan pilpres, namun selambatnya keesokan hari ia tahu siapa sesungguhnya yang menang dalam Pilpres 2014.
Mengapa? Karena Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negaralah yang memiliki aparatur lengkap (dalam hal ini aparat Kepolisian dan Badan Intelijen Negara). Pun demikian kedua aparatur negara tersebut dikenal sebagai organisasi modern (atas dan bawah tanah), dan memiliki peralatan komunikasi canggih yang dapat menjangkau wilayah-wilayah yang terisolasi sekalipun dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai anggota KPPS selama 4 kali, saya menyaksikan begitu hasil pemungutan suara dibawa ke Panitia Pemilihan Suara (PPS) di tingkat kelurahan, ada personil kepolisian dan badan intelijen yang turut mencatat hasil-hasil penghitungan suara Tempat Pemungutan Suara (TPS). Bahkan kadang ada staf Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dari kantor kabupaten/kota yang turut mencatat hasil pemilu per tps di kantor kelurahan.
Tentu saja dalam hitungan menit atau jam setelah seluruh TPS di suatu kelurahan menyetorkan hasil penghitungan suara, para aparatur negara tersebut segera membuat rekapitulasi secara berjenjang untuk sajian data pimpinan puncak lembaga/instansi yang menugaskan.
Lantaran Kepolisian dan Badan Intelijen bertanggungjawab langsung di bawah presiden, maka kapanpun presiden membutuhkan data hasil pilpres, pimpinan kedua lembaga tersebut wajib menyampaikannya. Bisa di hari yang sama, tapi selambatnya keesokan harinya. Akan tetapi, lantaran data-data tersebut merupakan rahasia negara tak mungkinlah presiden gegabah membocorkannya ke khalayak.
Dengan demikian, sehebat apapun para relawan, LSM, saksi-saksi capres-cawapres dan sebagainya bahkan KPU sekalipun tetap kalah hebat dengan aparatur negara (dalam hal ini kepolisian dan badan intelijen) yang bertanggungjawab langsung di bawah presiden. Lantaran mereka memiliki segalanya: organisasi dan manajemen modern, dana besar, personil sangat mencukupi dan peralatan komunikasi canggih.
*****
Sumber Foto: Koleksi Pribadi Pilpres 2009.