Lihat ke Halaman Asli

Dwi Juniardi

Mahasiswa

Indonesia pada masa Demokrasi terpimpin: Ambisi politik ala Soekarno.

Diperbarui: 28 April 2024   15:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi terpimpin adalah sistem demokrasi yang ada di Indonesia pada tahun 1959 sampai 1966, dimana segala sesuatunya terpusat di tangan Presiden Sukarno. Pada tahun 1957-1959, seiring krisis, Soekarno memperkenalkan konsep "Demokrasi Terpimpin" sebagai bentuk pemerintahan baru. Konsep ini menggantikan demokrasi liberal dan memberikan kekuasaan kepada Soekarno, militer, dan PKI. 

Sistem demokrasi liberal yang ada sebelumnya memungkinkan partai politik bermunculan dan saling berkompetisi. Namun, Soekarno menentang pengaruh barat dan menginginkan organisasi massa yang berbeda. Ia memuji sistem satu partai dari Uni Soviet dan ingin menerapkan struktur serupa di Indonesia. Demokrasi terpimpin dikuasai oleh hasrat kepribadian Soekarno. Walaupun prakarsa pelaksanaannya tetap diambil secara bersama-sama dengan pemimpin angkatan bersenjata.

Keadaan Indonesia tahun 1957-1959

Pada tahun 1957, politik Indonesia memanas. PBB gagal mengesahkan resolusi untuk menyelesaikan masalah Papua dengan Belanda. Selain itu, gelombang radikal anti-pemerintah Indonesia terjadi pada Desember 1957-Januari 1958, termasuk Pemberontakan PRRI di Sumatera. Soekarno mendesak penanganan keras terhadap pemberontak ini, yang akhirnya berhasil ditumpas oleh militer. Namun, tindakan keras ini membuat publik tidak menyukai tentara, dan kekuasaan mereka dipertanyakan. Ketegangan politik ini mendorong pemimpin Indonesia untuk mengambil langkah politik baru.

Dekrit presiden 1959 dan manifesto politik.

Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang membubarkan majelis konstituante dan mengembalikan UUD 1945. Dekrit ini didukung oleh PKI dan TNI AD. Lima hari kemudian, kabinet karya dibubarkan dan kabinet kerja baru dibentuk dengan Soekarno sebagai perdana menteri. Kabinet ini fokus pada sandang pangan, pemulihan keamanan, dan perjuangan Irian Barat. Sukarno juga menggunakan momentum ini untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin dan mengambil alih kendali politik. Presiden Sukarno membentuk Kabinet Kerja baru, membubarkan dewan nasional, dan membentuk dewan pertimbangan agung serta dewan perancang nasional. Para pejabat negara dilarang menjadi anggota partai politik. Pada peringatan kemerdekaan, Soekarno menguraikan ideologi demokrasi terpimpin yang kemudian dikenal sebagai manipol. Banyak partai politik yang menolak manipol ini, seperti pro Masyumi dan pro PSI.  Seiring berjalannya waktu konsep manipol bertambah kata menjadi manipol USDEK. Yang berarti undang-undang dasar 1945, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia.

Nasakom

Setelah memperkenalkan ideologi manipol-USDEK, Soekarno melawan PSI dan Masyumi yang menolaknya. Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu yang masih diisi oleh PSI dan Masyumi, dan membentuk DPR gotong royong dengan 283 kursi. Masyumi dan PSI tidak memperoleh kursi dan dilarang pada 1960 karena PRRI. Ambisi Soekarno ingin menyatukan kekuatan politik di bawah kepemimpinannya dengan doktrin nasakom ( nasionalisme, agama, komunisme) akhirnya terealisasikan. Tampaknya doktrin Ini mengandung arti bahwa PNI untuk nasionalisme, Nahdlatul ulama untuk agama dan PKI untuk komunisme yang akan bersama-sama berperan dalam pemerintahan di segala tingkatan sehingga menghasilkan suatu sistem yang antara lain akan didasarkan pada koalisi kekuatan politik yang berpusat di Jawa.

Politik mercusuar

Pasca manipol usdek dan penyatuan nasakom, permasalahan politik dalam negeri Indonesia tidak selesai. Ancaman politik dalam negeri semakin meningkat. Keadaan kacau dalam negeri tersebut berdampak pada hubungan luar negeri. Soekarno berupaya meningkatkan citra Indonesia dalam dunia internasional dan membentuk poros dunia baru tanpa campur tangan blok Barat dan blok Timur yaitu NEFO dan OEF. Soekarno ingin Indonesia menjadi poros yang diakui dan setara dengan negara maju. Oleh karena itu, Soekarno mendirikan bangunan megah seperti Hotel Indonesia, komplek olahraga Gelora Bung Karno, Ganefo, jembatan Semanggi, monumen nasional, dan Sarinah. Politik mercusuar ini menciptakan pertentangan karena dianggap kurang tepat mengingat situasi ekonomi yang kacau. Pengeluaran anggaran yang besar menyebabkan inflasi dan krisis ekonomi.

Pembebasan papua dari tangan belanda

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline