Lihat ke Halaman Asli

Ngobrol dalam Diam

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_93663" align="alignleft" width="300" caption="tautan aroma buih susu, kopi, dan coklat mewakili semua kata"][/caption]

Dua orang sahabat bertemu lagi setelah berpisah 35 tahun lamanya. Di sebuah café mereka berbicara. Awalnya mereka seperti dua tokoh di panggung boneka. Geraknya patah-patah dan kaku. Waktu seakan mengeraskan sendi-sendi mereka. Sesudah lelaki itu memesan cappuccino dan wanita itu memesan coklat panas, kata-kata mencair dalam mulut mereka. Sendi dan otot merekapun lebih luwes karena terhangati. Otot wajah bisa tersenyum tertawa.

Lali-laki itu mulai berkata-kata walau barupada teguk kedua cappuccino-nya: “bla bla bla dan blab bla … “

Mata dan bibir wanita itu memberi isyarat bahwa dia ingin bicara. Tetapi laki-laki itu tetap pada ceritanya. Pada isyarat yang kedua, laki-laki itu sadar dan berkata:

“Oh maaf tadi mau berkata apa?”

“Oh … selesaikan dulu saja…” senyum mengembang dalam kebun wajahnya. Lalu laki-laki itupun terus bercerita: “bla bla bla dan bla bla bla …”

Kembali mata wanita itu membinar dan bibirnya sedikit terbuka bersiap untuk bicara. Ini isyaratnya yang ketiga.

“Oh maaf … ini giliranmu bercerita…” kata laki-laki itu. Keduanya saling pandang. Wanita itu tersenyum:

“never mind, nggak jadi saja …” Lalu mereka berdua terdiam, masih dalam senyum dan saling pandang.

Memang kata-kata tak akan cukup merangkum 35 tahun. Bau kopi, buih susu, dan coklat bertaut mengambang di udara dan mewakili semua kata-kata, jujur tanpa kebohongan, tanpa kepalsuan, tanpa bualan.

***

(memoar obrolan dalam diam)

ilustrasi diunduh dari image bank




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline