Pendidikan dan penyerahan wewenang Perguruan Tinggi
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin dalam Undang-undang sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” dan diperkuat dalam Pasal 31 ayat (1) menyatakan “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.”. Dasar hukum inilah yang menjadi fondasi bahwa dengan mencapainya cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk meningkatkan kualitas warganya demi kesejahteraan umat maka pemerintah memiliki peranan dan tanggung jawab sepenuhnya untuk mencapai cita-cita tersebut.
Namun dalam praktik pendidikan di Indonesia, terutama untuk pendidikan tinggi dimana masih terdapat banyak permasalahan yang dihadapi dalam mencapai tujuan mulia mencerdaskan bangsa maka pemerintah mengambil sebuah jalan pintas dengan berdalih peningkatan mutu pendidikan tinggi melalui penyelenggaraan pendidikan Tridharma Perguruan Tinggi dengan memberikan keleluasaan Perguruan Tinggi untuk mengelola urusan rumah tangganya sendiri, terutama dalam urusan pengelolaan pendanaan perguruan tinggi. Hal tersebut sebagai upaya untuk me-‘Reformasi’ kondisi perguruan tinggi yang diberikan haknya dengan analogi sebagai daerah otonom sebagai salah satu cara untuk meningkatkan daya saing dalam interaksi global yang inovatif dan solutif bagi pengembangan bangsa.
Sumber dan mekanisme pendanaan secara mandiri
Dalam PP no 26 tahun 2016 tercantum secara rinci mengenai mekanisme pendanaan PTN-BH yang sumber dananya berasal dari APBN dan non APBN. Sumber dana tersebut kemudian dialokasikan untuk membiayai biaya operasional, dosen, tenaga kependidikan, investasi dan biaya pengembangan. Yang menjadi pertanyaan adalah apabila dana yang bersumber dari APBN tidak cukup untuk membiayai kebutuhan tersebut, bagaimana cara PTN-BH tetap melaksanakan pembiayaan rutinnya?
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam rincian sumber pendanaan terdapat dana yang bersumber dari non APBN. Sumber dana non APBN berasal dari penerimaan PTN Badan Hukum yang dikelola secara otonom dan bukan merupakan penerimaan negara bukan pajak. Dalam hal ini PTN-BH banyak dimaknai sebagai privatisasi perguruan tinggi untuk memperoleh keuntungan dengan dalih pemenuhan penyelenggaraan pendidikan. Sumber pendanaan non APBN yang pasti dan mudah untuk diimplementasikan adalah dengan memungut “Tarif Biaya Pendidikan” kepada mahasiswanya. Hal tersebut tentu legal karena “terlindung” dalam payung hukum pasal 9 PP 26 tahun 2015 dimana tarif biaya pendidikan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa ataupun pihak yang membiayai mahasiswa bersangkutan.
Penetrasi Kapitalisme dan pembebanan kepada masyarakat
Pengelolaan dana secara otonomi dapat memicu terjadinya kapitalisme dimana pendidikan tinggi sebagai public goods direformasi untuk diliberalisasi menjadi private goods yang memiliki ciri harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Hal tersebut sejalan dengan mekanisme pendanaan PTN-BH dalam hal pemungutan biaya kuliah oleh mahasiswa dimana tarif biaya pendidikan ditentukan oleh kemampuan ekonomi mahasiswa bersangkutan yang artinya terdapat tawar menawar antara produsen dan konsumen hingga mencapai titik temu kesepakatan kedua belah pihak (sesuai kemampuan konsumen yang dalam hal ini adalah mahasiswa dan pertimbangan produsen yang merupakan PTN-BH), berbeda halnya dengan public goods yang dalam penggunaannya tanpa pengorbanan dan tidak ada satupun yang dapat menghalangi untuk memanfaatkan barang publik ini, termasuk dana untuk mendapatkan akses ke pendidikan tinggi. Dengan adanya benih-benih privatisasi, muncul ketertarikan investor yang akan menjadikan Perguruan Tinggi Badan Hukum untuk melakukan kerjasama Internasional sehingga semakin melebarnya penetrasi kapitalisme global yang akan membuat pergeseran fungsi dari Perguruan Tinggi sebagai penyelenggara pendidikan menjadi Perseroan Terbatas (PT).
Dengan memberlakukan asas desentralisasi yang memberikan otonomi perguruan tinggi yang memiliki fungsi besar dalam peningkatan kualitas dan pencerdasan bangsa maka harus kembali mendefinisikan kembali mengenai peran pemerintah dalam menyelenggarakan amanat negara. Dengan mendiferensiasi pendanaan publik dan memberikan keleluasaan pendanaan untuk PTN-BH maka juga akan mendiferensiasikan kalangan yang dapat menikmati manfaat pendidikan tinggi. Apabila PTN-BH tidak dapat memenuhi kebutuhan rutinnya, maka dengan leluasa PTN-BH yang terlindung payung hukum akan senantiasa memungut dan memaksimalkan anggarannya kepada mahasiswa. Kabar terakhir dari Kementerian Riset dan Teknologi menerapkan perhitungan biaya kuliah berdasarkan konsep Student Unit Cost dengan indeks kemahalan wilayah, jenis program studi, dan Standar Nasional Perguruan Tinggi.
Jika ditelaah lebih lanjut mengenai indikator SUC maka yang menjadi pertimbangan adalah kebutuhan yang dinamis seperti kemahalan wilayah dan dapat dipertanyakan kembali apakah dengan indikator atau indeks SUC ini dapat efektif dilaksanakan mengingat banyak sekali faktor yang memengaruhi kemahalan wilayah, serta perlu dikaji lebih dalam mengenai relevansi indikator ini dengan penghitungan BKT. Kebijakan yang desentralistik berpotensi dalam pembuatan kurikulum yang berorientasi kepada pasar yang dalam salah satu indeks SUC, yaitu program studi dapat dengan mudah mengubah struktur kurikulum yang friendly dengan kepentingan pasar.
Pelapasan tanggung jawab dan “kabur”nya peran negara’