Film "Vina Sebelum 7 Hari" telah menciptakan gelombang kontroversi yang meluas, memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat. Diproduksi oleh Dee Company dan disutradarai oleh Anggy Umbara, film ini mengangkat kisah nyata pembunuhan tragis seorang gadis remaja, Vina, dan kekasihnya, Eky, yang menggemparkan publik pada tahun 2016. Dengan latar belakang kejadian yang menggegerkan ini, film tersebut memicu reaksi yang bervariasi di antara penonton dan kritikus.
Dari sudut pandang yang mendukung, para pendukung film ini melihatnya sebagai alat untuk menyebarkan kesadaran akan bahaya perilaku bully dan kekerasan dalam hubungan remaja.
Dengan menggambarkan kronologi pembunuhan dan menghadirkan kejanggalan yang ditemukan dalam penyelidikan polisi, film ini diharapkan dapat membantu penegakan hukum dan mendorong perubahan sosial. Bagi mereka, film ini menjadi semacam panggilan untuk bertindak, menegakkan keadilan bagi korban, serta menghentikan siklus kekerasan serupa di masa depan.
"Film ini memberitahu khalayak kalau pembullyan itu buruk dampaknya dan bisa berdampak fatal kepada masyarakat," ujar Diva, salah satu penonton film Vina Sebelum 7 Hari.
Namun, di sisi lain spektrum, terdapat kekhawatiran yang mendalam terkait eksploitasi korban dan sensitivitas dalam menangani cerita nyata yang tragis. Pihak yang menentang perilisan film ini memandangnya sebagai bentuk komersialisasi dari tragedi yang dialami Vina dan Eky, serta berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap keluarga korban dan masyarakat luas. Kritikus film dan penonton yang menolak menontonnya menekankan pentingnya etika dalam mengangkat narasi kekerasan seksual dan trauma, yang dianggap film ini tidak memperhatikan dengan baik.
"Di sisi lain film ini juga tidak memberi edukasi kepada para penonton yang tidak ingin mengambil sisi positif dari film ini, lalu terdapat juga adegan yang sedikit sadis yang mungkin bisa mempengaruhi beberapa orang untuk melakukan hal yang sama," tambah Diva.
Banyak netizen yang juga menyayangkan adanya adegan kekerasan seksual yang terpampang jelas di salah satu scene film ini. Dilansir oleh BBC News Indonesia, Ketua Lembaga Sensor Film Indonesia, Rommy Fibri Hardiyanto, menjelaskan bahwa adegan kekerasan dalam film itu masih berada dalam batas wajar untuk film dewasa sesuai pedoman sensor yang tertera dalam Permendikbud Nomor 14 tahun 2019.
"Adegan kekerasan yang sudah diluluskan itu dinilai LSF masih proporsional dan bisa diterima orang 17 tahun ke atas," jelas Rommy.
Pada akhirnya, keputusan untuk menonton atau menghindari film ini menjadi tanggung jawab individu. Namun, dalam menanggapi kontroversi ini, penting untuk mempertimbangkan dampak yang mungkin timbul dari narasi yang disajikan. Keadilan bagi korban haruslah menjadi prioritas utama, sementara pemahaman tentang kompleksitas isu kekerasan dan keadilan harus terus diperdalam.
Dengan demikian, diskusi dan refleksi tentang "Vina Sebelum 7 Hari" tidak hanya menjadi tentang sebuah film, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat memperlakukan dan merespons kisah nyata yang memilukan.