Lihat ke Halaman Asli

Penetapan Anggaran Dalam Sistem Kapitalisme Rapuh, Benarkah?

Diperbarui: 30 Januari 2018   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Penetapan kebijakan "goverment shutdown" yang diterapkan berkali-kali, merupakan bukti kerapuhan sistem ekonomi kapitalisme. Pasalnya hal ini dapat menyebabkan pelayanan tarhadap kepentingan umum (rakyat) terganggu. Goverment shutdown sendiri menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menjalankan operasional pemerintahan.

Hal ini disebabkan  karena pada saat konggres dilakukan, anggaran fiskal yang diajukan presiden untuk tahun mendatang tidak diloloskan. Sebagaimana yang terjadi pada AS, 20 Januari 2018 adalah posisi dimana pemerintah AS shutdown 18 kali. Karena para senator tidak mencapai kesepakatan terkait anggaran pemerintah. Dari 100 senat, hanya 51 yang menyetujui anggaran Trump, 49 senat menolak. Sementara untuk meloloskan anggaran dibutuhkan 60 suara. (cnnindonesia.com).

Dampak dari penetapan anggaran pemerintahan yang berdasarkan pada kesepakatan seperti ini jelas akan mengganggu terpenuhinya hak-hak rakyat. Baik yang bersifat rutin maupun yang bersifat insidental. Belum lagi efisiensi kinerja pemerintah akan terganggu. Pasalnya setiap 1 tahun sekali, penetapan  anggaran  melalui senator ini harus dilakukan. Pemerintahan AS sendiri, yang merupakan bapaknya kapitalis suduah menerapkan shutdown 18 kali selama 42 tahun. Pada masa presiden Obama, partai Demokrat menolak anggaran untuk Obamacare.

Sehingga tidak ada persetujuan untuk anggaran negara tidak ada. Sebanyak 850 ribu pegawai federal terpaksa cuti selama pemerintahan tutup. Bisa dibayangkan jika penutupan instansi pemerintah atau layanan public dan Lembaga-lembaga penting lainnya yang berfungsi untuk pelayanan umat terjadi, sudah tentu stabilitas nasional akan terganggu.

Telah Nampak kebobrokan sistem demokrasi kapitalis yang jelas-jelas mengancam eksitensi negara bahkan peradaban manusia. Sistem kapitalis hanya akan menambah jurang terjal kesenjangan sosial antara yang kaya dengan yang miskin. Dimana sistem seperti ini seperti 'hukum rimba'. Siapa yang kuat (baca: punya kapital) maka dia yang akan tetap survive. Sementara yang miskin harus rela hidup menderita di tengah kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit.

Tidak salah jika sampai ada ungkapan 'orang miskin dilarang sakit' atau 'orang miskin dilarang sekolah'. Demokrasi yang katanya dari rakyat oelh rakyat dan untuk rakyat, sejatinya tidak lebih hanya semboyan semata. Faktanya 'rakyat' hanya dibutuhkan suaranya pada saat PEMILU, namun ketika usai maka 'rakyat' terlupakan. Suara-suara rakyat sudah tidak lagi di dengar ketika menyampaikan aspirasinya. Contoh nyata ketika rakyat demo tentang kenaikan BBM. Hal itu seolah hanya menjadi angina lalu saja. Toh pada akhirnya BBM tetap naik. Bahkan tidak hanya sekali dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun.

Lain halnya dengan sistem Islam (Khilafah), dimana penetapan anggaran sudah diatur tersendiri oleh pemimpin negara (Khalifah). Dimana penetapannya tidak harus mengikuti kebijakan fiscal melalui DPR atau anggota dewan sebagamana terdapat pada system kapitalis.

Khalifah sudah memiliki pos-pos tertentu dalam mengatur system keuangan negara. Sumber keuangan maupun distribusi kekayaan diatur berdasarkan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh hukum syara'. Pengaturan kepemilikan juga jelas. Mana yang termasuk kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Jadi, tidak ada alasan untuk menolak sistem Islam yang berasal dari Dzat Yang Maha Pengatur segalanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline