Lihat ke Halaman Asli

4 Pilar Kebangsaan dalam Bingkai Kritik

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pilar, dalam sebuah bangunan rumah, adalah bagian yang menunjang atap. Tiang-tiang penguat, yang melekat pada dasar pondasi. Sebuah rumah, hanya akan menjadi sebuah gundukan pondasi, jika atapnya tidak diberikan tiang penguat yang disebut pilar tersebut. Pilar adalah bagian bangunan yang menghubungkan atap dengan pondasi, sehingga bangunan bisa berdiri tegak.

Analogi di atas juga bisa dilekatkan pada sebuah Negara. Bagaimana pondasi dasar bangunan  sebuah Negara, berbentuk ideologi yang diamini oleh setiap anak bangsa. Lalu pondasi tersebut diperkuat dengan pilar-pilar yang memang bertujuan untuk menghubungkan pondasi dengan atapnya. Ya, pilar-pilar tersebut adalah bentuk konsep pemikiran yang mengimplementasikan ideologi sebagai pondasi dasar ke dalam tataran operasional, menuju dan memperkuat atap bangunan Negara.  Pada akhirnya, atap, sebagai tempat bernaung dan berlindung dari sengatan panas, hujan, angin, dingin, dan lainnya, menjadikan bangunan tersebut lengkap. Dalam analogi Negara, tujuan Negara bagi kemaslahatan rakyatnya, ada pada atap tersebut.

Kemudian terkait dengan itu, kita mengenal Pancasila sebagai satu-satunya ideologi Negara yang diakui oleh segenap lapisan masyarakat. Karena di dalam Pancasila itu memuat semua kepentingan dan dasar pemikiran yang dianggap mewakili seluruh golongan dalam masyarakat Indonesia. 5 sila sebagai dasar-dasar Negara dalam pancasila tersebut, dianggap menyatukan Bangsa Indonesia yang majemuk, terdiri dari puluhan suku bangsa dan bahasa, sehingga ideologi Pancasila bisa dianggap sebagai pondasi berdirinya Negara Indonesia ini.

Pancasila sebagai pondasi dasar Negara, kemudian dioperasionalisasikan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dengan bagian-bagiannya seperti, Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Dalam UUD 1945 itu sudah termaktub di dalamnya tentang bentuk Negara (Republik) , bentuk susunan pemerintahan (NKRI), pembagian kekuasaan (Trias Politika) dan sistem pemerintahan (Presidensiil). Lalu kita juga mengenal konsep dan rumusan Bhineka Tunggal Ika, dan pada prinsipnya, konsep ini juga bentuk operasionalisasi dari Pancasila. Bahwa kemajemukan bangsa haruslah diartikan sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa. 2 konsep inilah yang sebetulnya menjadi pilar kebangsaan kita.

Lalu, apakah atapnya? Atap bangunan Negara Indonesia adalah apa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, di mana tertulis apa yang sudah mencakup seluruh elemen dasar dari bangsa Indonesia. Apabila dikaji alenia demi alenia dalam pembukaan UUD 1945 tersebut, sudah termuat makna dasar akan kemerdekaan, cita-cita bangsa, dasar Negara dan tujuan dari berdirinya Negara Indonesia. Yang pada prakteknya secara teknis, dijalankan oleh administrasi birokrasi kenegaraan, dari tingkat Pusat hingga daerah pada level terkecil.

Jadi, ketiga elemen konsep besar tersebut menjadi konsensus bersama dalam mendirikan dan menjalankan Negara, dimulai sejak jaman paraFounding Fathers, hingga sekarang ini. Hanya saja memang memiliki perbedaan dalam meletakkannya dalam analogi bangunan kenegaraan. Sebut saja, apa yang digagas oleh MPR RI dengan 4 pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, doktrin NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Dalam gagasan ini, keempat elemen tersebut disejajarkan sebagai pilar kebangsaan, di mana, yang saya anggap sebagai atap dan pondasinya, justru dileburkan sebagai pilar. Ini menjadikan posisi Pancasila dan UUD 1945 menjadi ambigu, karena pada prinsipnya UUD 1945 adalah bentuk operasionalisasi dari Pancasila sebagai ideologi dasar. Lalu posisi doktrin NKRI, yang sebetulnya adalah bagian dari UUD 1945 itu sendiri yang tertulis di dalam batang tubuh, yang pada prinsipnya bisa diubah dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi wilayah Indonesia yang luas dan terpisah oleh lautan dan samudra, ketika dijadikan sebagai salah satu pilar dan posisinya sederajat dengan Pancasila, maka bentuk susunan pemerintahan ini menjadi terlalu kuat dan sulit untuk disesuaikan dengan jaman dan situasi realistis wilayah Republik Indonesia.

Tulisan saya di atas menjadi dasar argumen saya untuk mengkritisi konsep 4 pilar kebangsaan yang digulirkan oleh MPR RI tersebut, dan menurut hemat saya, akan menjadi tidak mungkin diletakkan pada konsep analogi bangunan rumah, yang ada pada bagian atas dari tulisan ini. Walaupun begitu, secara prinsip, saya tidak pernah mempertanyakan ideologi Negara Pancasila, yang menurut saya telah begitu baik menjadi dasar Negara dan bisa merangkum semua kepentingan kenegaraan di dalamnya. Lalu  UUD 1945 yang telah mengalami 4 kali amandemen, di mana amandemen ini membuktikan bahwa UUD 1945 tidaklah menjadi barang keramat yang tidak bisa diubah, berikut pasal-pasal di dalamnya. Kemudian juga doktrin NKRI untuk masa sekarang ini, yang seharusnya tidaklah disejajarkan dengan Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri dan harus bisa lebih fleksibel dengan situasi. Serta konsep Bhineka Tunggal Ika yang menjadi representasi dari kemajemukan bangsa yang tergabung dalam Negara Republik Indonesia ini.

Dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang difasilitasi oleh Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, digunakan terminologi Empat Konsensus Dasar Bangsa untuk menyebut pilar-pilar kebangsaan, seperti yang disosialisasikan oleh MPR RI. Dan menurut saya, terminologi Empat Konsensus Dasar Bangsa lebih realistis. Pertama, Pancasila sebagai dasar negara adalah merupakan kesepakatan parafounding fathers. Kedua,  UUD 1945 juga disepakati bersama para pendiri negara sebagai konstitusi dasar. Ketiga, NKRI menjadi bentuk negara yang menjadi kesepakatan bersama. Keempat, sesanti Bhineka Tunggal Ika adalah merupakan realitas sosiologis yang tidak dapat dipungkiri kenyataannya.

Berdasarkan itulah maka, buat saya penyebutan ‘Empat Pilar’ tersebut saya rasa keliru. Penyebutan yang lebih ideal menurut saya adalah “4 Konsensus Dasar Bernegara”, di mana, 4 konsensus tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain, namun tetap memiliki porsi dan posisi yang berbeda-beda, dalam ranah konseptual maupun operasional. Dengan kata lain, bahwa Pancasila sebagai nilai-nilai dasar kebangsaan, UUD 1945  sebagai rambu-rambu dalam berkonstitusi, doktrin NKRI sebagai ruang kedaulatan dari Sabang sampai Merauke, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol kemajemukan, kesatuan dalam keberagaman, tidak terpisahkan sebagai falsafah Negara, namun harus diletakkan pada posisi dan porsi yang lebih ideal, seperti analogi bangunan rumah di atas.

Namun bagaimanapun, diskursus, pengkajian dan diskusi serta penelitian ilmiah seputar 4 konsensus berbangsa ini harus terus dilakukan oleh berbagai elemen bangsa. Ini diperlukan sebagai benteng dan filter atas semakin derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang kian mereduksi semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Bangsa ini bisa jadi menemukan kembali identitasnya di tengah ketidakpastian hidup akibat berbagai persoalan, mulai kekisruhan politik, korupsi yang merajalela, hingga persoalan kemiskinan dan pengangguran yang kian menjebak bangsa ini dalam labirin demokrasi, yang tak jarang berbuah konflik sosial, baik horisontal maupun vertikal.

Belum lagi serangan arus globalisasi yang menempatkan kita sebagai bangsa kelas tiga dari percaturan pergaulan dunia. Dan hal ini bisa menjadi salah satu solusi nasional yang bisa dikemas dan dikampanyekan sedemikian rupa ke seluruh lapisan masyarakat, guna menumbuhkan kembali kesadaran nasional sebagai bangsa dan rakyat Indonesia. Dan pada akhirnya menumbuhkan kepercayaan diri kita sebagai bangsa yang berdaulat dan mampu untuk tegak berdiri serta bangga sebagai rakyat Negara Republik Indonesia yang tercinta ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline