Lihat ke Halaman Asli

Siapa Jujur Pasti Mujur _Cerita Pendek Siswa SD_

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siapa Jujur Pasti Mujur,

Kami, hamba yang bersimpuh di ujung kekusaan-Mu senantiasa mengharapkan hujan rizki yang penuh berkah. Hanya engkaulah yang dapat melimpahkan rizki sebanyak apa pun terhadap hamba-Nya yang dikehendaki.

* * *

Pada suatu hari, datang seorang pedagang cina menawarkan gula putih kepada Pak Kamil, sebanyak dua karung dengan harga 400.000 waktu itu Pak Kamil belum mempunyai uang sebanyak itu jadi gula tersebut ditolak dengan halus.

“Saya bukannya tidak perlu, koh! Akan tetapi uangnya belum ada,” ujar Pak Kamil sambil tersenyum. “Bapak tidak perlu membayar sekarang. Nanti setelah dua minggu atau sebulan bapak boleh membayarnya. Sayang jika gula berkualitas tinggi ini saya jual ke toko lain,” kata orang cina tersebut setengah memaksa. “kalau engkoh memberi keringanan begitu baiklah saya terima. Tetapi setelah sebulan boleh mengambil uangnya,” kata Pak Kamil sambil memerintahkan pegawainya untuk memasukkan dua karung gula putih tersebut ke dalam gudang.

“Baiklah! Tetapi jika sebelum sebulan bapak telah punya uang dan bermaksud membayar hubungi saja telepon ini,” ujar orang cina sambil meneyrahkan kartu nama kepada pak kamil. Kepada istrinya Pak Kamil mengingatkan bahwa mereka punya hutang kepada pemilik gula sebanyak empat ratus ribu rupiah. Hal tersebut diingatkan agar keluarga Pak kamil mengetahui bahwa gula tersebut belum dibayar. “Baiklah saya akan mencatat dalam buku pembelian ini,” kata Darmawan (anak Pak Kamil) sambil menuliskan utang tersebut.

Waktu terus berlalu mewarnai kehidupan manusia. Tak terasa sebulan telah lewat. Gula sebanyak dua karung telah habis, bahkan banyak yang menanyakan kembali. Maklum pada waktu itu gula berkualitas tinggi agak sulit diperoleh. Suatu hari pesuruh pemilik gula datang menagih. Kebetulan saat itu keluarga Pak Kamil tidak ada ditempat sebab sedang pergi melayat orang meninggal. Terpaksa yang membayar hutang tersebut adalah pegawai Pak Kamil. Akan tetapi ia tidak mengetahui dengan pasti jumlah uangnya sebab buku catatan ada pada Darmawan.

“Berapa uang gula putih itu, Pak?” tanya pegawai toko. Si pesuruh yang ditugaskan untuk menagih juga agak bingung sebab bonnya telah lusuh. Dalam tulisan tertera 40.000, padahal sebetulnya 400.000, “Bapak hutang sebesar empat puluh ribu rupiah,” jawab pesuruh sambil menutup buku tagihan.

Tanpa berkata lagi penunggu toko Pak Kamil segera membayar uang Rp.40.000, kepada pesuruh tersebut. Setelah menerima uang tersebut kemudian ia pergi. Tidak lama berselang Pak Kamil dan keluarganya datang. Pegawai di toko segera melaporkan hal terebut kepada Pak Kamil. Sejenak Pak Kamil termenung kemudian bertanya pada Darmawan.
“Apakah benar kita hutang sebesar Rp.40.000,?” Darmawan membuka buku catatannya. Ia terkejut sebab hutang mereka pada bos gula bukan Rp.40.000, akan tetapi Rp.400.000,. Mungkin yang ditugaskan menagih tersebut salah lihat.

“Kamu tadi salah membayar. Seharusnya kita membayar empat ratus ribu. Kasihan, si engkoh rugi tiga ratus enam puluh ribu rupiah,” ujar Pak Kamil sambil menunjukkan catatan dalam buku pada pegawainya. “Habis saya tidak tahu, Pak! Biar saja lah, dia kan orang kaya,” jawab pegawai Pak kamil tanpa rasa bersalah.

Mendengar jawaban tersebut Pak Kamil bukan senang bahkan ia jadi marah pada pegawainya. Baginya hal tersebut merupakan beban berat yang jika dibiarkan akan menjadi bahan pikiran selamanya. “Kamu ini bodoh sekali! Walau ia orang kaya tetapi berdagang bukan begitu caranya. Ini pekerjaan buruk yang dimurkai Allah. Cepat kembalikan pada pemiliknya!” Pak kamil memerintah dengan tegas.

“Kita untung, Pak! Mengapa mesti dikembalikan? Kita tidak sengaja mengecoh dia,” bantah pegawainya.

Mendengar perselisihan paham antara suami dengan pegawainya Bu Anisah terpukau beberapa saat. Kemudian tampil sebagai penengah. “Kita memang tidak mengecoh akan tetapi berdosa sebab telah mengetahuinya bahwa itu perbuatan buruk. Kita bukan untung akan tetapi rugi beberapa puluh kali lipat sebab nanti Allah akan mengambil rizki kita lebih banyak. Perbuatan ini salah mengapa kita harus menyembunyikannya. Mengerti kamu sekarang?” kata Bu Anisah sambil menatam pada pegawainya dengan tajam. Dipandang demikian pegawainya tak mampu menatap pancaran mata Bu Anisah. Ia hanya menundukkan kepala sebab merasa bersalah.

“Maafkanlah kesalahan saya, pak,” ujar pegawai Pak Kamil. “Jadi sekarang kita harus bagaimana?” tanya istri Pak Kamil.

“Sebaiknya kita telepon si engkoh supaya mengetahui hal ini,” kata Pak Kamil sambil terus mencoba menghubungi nomor telepon penjual gula putih tersebut. Setelah si engkoh mengetahui masalahnya ia berkata pada Pak Kamil, “Baiklah saya nanti akan datang ke toko Bapak. Bon pembelian Bapak akan saya cari dulu supaya persoalannya bisa diselesaikan dengan baik.”

Selang waktu 4 jam kemudian penjual gula pasir tersebut datang sambil membawa barang dagangannya. Kemudian Pak Kamil menjelaskan persoalan yang sebenarnya. Selama mendengarkan penjelasan, si engkoh keturunan Tionghoa tersebut berdecak kagum. Dalam hatinya memuji kejujuran dan kebaikan Pak Kamil.

“Di zaman seperti sekarang ini sangat sulit mencari orang jujur semacam ini. Tingkah perbuatannya merupakan tauladan bagi orang lain termasuk dirinya sendiri.” Demikian isi hati penjual gula pasir yang bernama Suanlim.

Setelah Pak Kamil menyerahkan sisa pembayaran gula pasir sebanyak tiga ratus enam puluh ribu rupiah kepada pemiliknya ia berkata. “sekali lagi ma’af sebab kekeliruan ini tidak disengaja.” Suanlim semakin tertarik akan kejujuran Pak Kamil. Kemudian dijabatnya tangan Pak Kamil erat-erat sambil berkata dengan tersekat menahan haru, “Saya tidak menyangka di zaman sekarang masih ada orang jujur seperti Bapak. Kalaulah seluruh penduduk Indonesia berperilaku seperti Bapak negara ini akan aman.”

Mendengar pengakuan yang tulus ikhlas tersebut mau tidak mau hati Pak Kamil jadi terharu. Tak terasa lagi air matanya berderai membasahi pipi. Engkoh terlalu memuji saya padahal saya tidak merasa telah berbuat kebaikan,” ujar Pak kamil sambil menatap Suanlim dengan mata berkaca-kaca menahan tangis. “Bapak jelas telah berbuat kebaikan. Buktinya Bapak telah mengembalikan uang saya jawab penjual gula pasir.

“Uang itu hak anda, jadi sudah seharusnya saya mengembalikannya,” kata Pak kamil. Sebelum pulang Suanlim memeriksa keadaan dalam toko. Diperhatikannya dengan cermat. Ia melihat keganjilan yang bagi orang awam sulit untuk mengetahuinya. “Aku tahu dus-dus yang dipajang ini kebanyakan kosong. Mungkin Pak kamil kekurangan modal untuk membeli barang-barang ini,” pikir dlam hati Suanlim. Setelah melihat keadaan toko orang Cina tersebut lalu berkata kepada Pak Kamil, “Mulai sekarang Bapak boleh mengambil barang yang diperlukan sebanyak-banyaknya. Membayarnya nanti setelah barang laku. Marilah mulai sekarang kita bersahabat dalam dunia bisnis.” Mendengar kebaikan orang Cina tersebut hati Pak Kamil merasa gembira bukan main. Kini jalan untuk membuka toko besar sudah berada di hadapannya.

“Terimakasih atas kebaikan Anda. Mulai besok saya akan memesan barang yang diperlukan dari perusahaan milik engkoh Suanlim,. Mudah-mudahan saja toko saya akan berkembang berkat bantuan ini,” ujar Pak Kamil sambil menjabat tangan engkoh Suanlim.

Setelah pemilik grosir tersebut pulang keluarga pak Kamil tenggelam dalm kegembiraan. Wajah Pak Kamil dan istrinya cerah melambangkan kegembiraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline