Lihat ke Halaman Asli

(Untukmu Ibu) Love you Ma

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

no : 53

dwi ayu lestari

Ma, I love you. Rasanya kata-kata itu jarang sekali aku ucapkan padamu, kecuali untuk hari-hari tertentu seperti ulang tahunmu, atau dihari ibu seperti ini. Masih ada rasa gengsi untuk sekedar mengucapkan tiga kata itu. Ma, betapa bangganya aku punya ibu sepertimu, yang selalu tak henti-henti memberikan kasih sayang yang tulus padaku.

Aku masih ingat saat aku masih di bangku sekolah dasar, aku begitu manja padamu. tahun pertama disekolah dasar, kau tak pernah meninggalkan aku sendiri, kau tahu kalau aku sangat penakut. Kau selalu berada dibibir pintu hingga pelajaranpun usai. Tak pernah sedikitpun terlihat raut kebosanan diwajahmu. Saat aku melihat kearahmu, kau selalu tersenyum. Aku benar-benar bahagia. Kadang kau juga tertawa melihat aku bernyanyi dengan suara sumbang dan dengan suara yang luar biasa kerasnya. Bahkan kau tak pernah memperlihatkan wajah marahmu saat aku tak bisa mengerjakan soal dipapan tulis, kau hanya tersenyum menenangkanku.

Mama, aku juga ingat saat dulu aku bertengkar dengan temanku karena aku mencuri uangnya. Hari itu kau benar-benar marah padaku, baru kali itu aku melihat kemarahanmu, aku takut sekali, Ma. Aku mencoba menjelaskan padamu bahwa bukan aku yang mencuri uang nya, tapi Arni, temanku. Tapi aku terlalu takut melihat matamu. Kau bilang kalau kau tak pernah mengajari aku untuk menjadi seorang pencuri. Maafkan aku, Ma. Kau mengusirku keluar dari rumah. Sebagai anak kecil yang polos, aku benar-benar pergi tapi bukan pergi ketempat yang jauh. Aku hanya bersembunyi dirumah uwak yang tepat berada diseberang rumah kita. Tapi tak lama kemudian, kau datang menemuiku, dan mengajakku pulang. Betapa senangnya aku saat itu, Ma.

Lalu, disaat aku ingin memintamu untuk mengurus semua persyaratan pendaftaran ke SMP, kau malah memarahiku. Kau bilang kalau hidup itu harus mandiri, tak bisa semua urusan pribadimu di urus oleh orangtua. Aku menangis, rasanya menyebalkan sekali punya orangtua yang tak pengertian sepertimu, bukannya kau meng-iya-kan permintaanku. Tapi ternyata, setelah aku mengurus semua sendiri, rasanya menyenangkan bisa bercerita pada semua orang kalau aku melakukannya sendiri, dan kau pun tersenyum mendengarkan tiap kata yang keluar dari mulutku. Mama, betapa berartinya tiap pelajaran yang kau berikan padaku.

Aku juga ingat saat aku ulang tahun, tiba-tiba saja ada seorang kakak kelas yang memberikan aku sebuah kado. Aku takut membawa kado itu pulang kerumah, takut kau salah paham. Karena waktu itu kau pernah berkata padaku agar aku tak pacaran dulu, karena aku masih kecil. Dan aku harus mengendap-endap masuk kedalam kamar. Kulihat kau sedang sibuk didapur. Tapi keesokan harinya, aku ketahuan. Kau memanggilku untuk bicara, aku sudah meminta maaf dan menjelaskan semua kepadamu tentang kado itu bahkan sebelum kau bertanya, tapi ternyata ekspresimu malah tertawa. Aku benar-benar kaget saat itu. bukannya marah, kau malah mengejekku. Ah. Ada perasaan lega disitu. Tapi kau tetap tak memberi izin padaku untuk pacaran. Tak apalah, Ma. Toh aku juga masih kecil, baru 14tahun.

Masih ingat kah mama saat kelulusanku di SMP. Aku mendapat peringkat kedua dikelas. Betapa senangnya dirimu. Kau memelukku dan memberikan ucapan selamat padaku. Meski bukan peringkat pertama seperti yang pernahh ku janjikan padamu waktu itu, tapi kau tak terlihat kecewa. Terima kasih mama. Semua prestasi yang aku capai selama ini karena dukunganmu. Hari ini kau berjanji memberikan kejutan untukku. Kau ajak aku bersama papa, dan adik-adik jalan-jalan ke kota madya. Tapi bukannya mengajak ke Mall atau ketempat wisata yang lain, kau malah melajukan mobil kearah pinggiran kota. Karena mobil tak bisa melewati gang sempit, kitapun berjalan kaki beriringan. Cukup jauh perjalanan yang kita tempuh, sampai akhirnya aku bisa melihat anak-anak yang berdiri diteras rumah dengan membawa spanduk bertuliskan “selamat atas kelulusan kak Nayla” dan masih banyak spanduk-spanduk lainnya, tak lagi kupikirkan tentang rencana refreshing ke tempat wisata. Anak-anak ini sudah lebih dari itu semua. Betapa bangganya aku mempunyai seorang Mama yang tak hanya memperhatikan kami, tapi juga memperhatikan anak-anak yatim seperti mereka. Dan panti asuhan ini kau beri nama “panti asuhan Nayla” terima kasih ma.

Meski kadang kebahagiaan datang bertubi-tubi, tapi tak sedikit juga kesedihan yang Ia beri sebagai pelajaran. Ingatkah mama? Saat aku menangis meraung-raung seperti seorang anak kecil, karena aku tak lulus masuk SMA rayon. Peringkat dua yang aku terima saat kelulusan seperti tak berguna. Kau begitu marah, menyalahkan prosedur sekolah yang amburadul. Kau menelpon papa yang berada di Lampung dan menyuruhnya untuk segera cuti. Kau ceritakan semua yang terjadi. Betapa terlihat kekhawatiran di wajahmu. Terima kasih ma sudah mau mengkhawatirkan aku.

Ma, dulu saat aku mengutarakan keinginanku untuk masuk ke akademi kebidanan, kau menolaknya. Kau bilang menjadi tenaga kesehatan itu berat, libur hanya sedikit, harus rela bangun tengah malam untuk mengobati pasien. Tapi aku tak peduli, meskipun pada akhirnya aku mengikuti keinginanmu untuk mendaftar di fakultas keguruan, dan mengikuti tes tersebut. Tapi maaf Ma, aku benar-benar tak sungguh-sungguh mengerjakan soal itu dengan benar. Dan kau tahu sendiri hasil akhirnya, aku gagal. Dengan berat hati kaupun menyetujui keinginanku untuk menjadi seorang bidan.

Kuliah di akademi kebidanan ternyata memang berat, ma. Aku harus merelakan diriku terpisah darimu selama tiga tahun. Ya, karena akademi tersebut “mengurung” kami dalam sebuah asrama. Hari itu disaat kau mengantarku masuk ke asrama, kulihat matamu berkaca-kaca. Aku berlari kepelukanmu, dan menangis. Lega rasanya bisa menangis seperti ini dipelukanmu. Dan kaupun menangis pilu, bukan hanya kita yang menangis, semua keluarga kita yang ikut mengantarpun menangis melihat kemesraan kita, Ma.

Tiga tahun sudah aku menjalani kuliah yang jauh darimu, rasanya benar-benar berat hidup dirantau. Dan akhirnya akupun lulus dari akademi tersebut dengan predikat “dengan pujian”. Maaf ma, aku bukan menjadi yang nomer satu, tapi aku tetap berusaha menjadi yang terbaik agar kau bisa bangga.

Dan disaat aku memutuskan untuk mencari kerja di kota tersebut, kau memintaku pulang. Kau bilang waktu tiga tahun sudah cukup untuk memisahkan aku dengan mu. Ya, kau benar ma, tapi masih ada keraguan dalam hatiku. Karena aku tahu, mencari pekerjaan di sebuah kota kecamatan sangat la susah, hanya ada dua klinik bersalin disana, dan satu rumah sakit. Tapi untuk tak mengecewakanmu, akupun pulang, dan memasukkan lamaran pekerjaan disalah satu klinik tersebut. Dan mungkin ini juga berkat doamu ma, aku akhirnya bisa bekerja disana. Gaji pertama yang ku raih, kuberikan padamu, tapi kau menolak, kau bilang itu semua atas kerja kerasmu. Padahal aku tahu, semua bukan karena kerja kerasku saja, tapi juga doa darimu.

Ma. Maafkan aku yang belum bisa menjadi anak yang berguna untukmu, rasanya masih banyak sekali hal-hal kecil yang kadang membuatmu terluka, masih sering aku menggunakan kata “ahh” saat berbicara padamu, masih banyak nasihat-nasihat yang kau berikan padaku yang belum aku ikuti. Masih banyak juga pertengkaran-pertengkaran kecil seharusnya tak terjadi diantara kita. Dan masih banyak lagi kesalahan-kesalahan yang aku lakukan yang sepertinya tak kan habis untuk dijabarkan.

Aku juga masih ingat kita bertengkar hebat hanya karena aku tak mau sependapat dengan argumenmu tentang sebuah pernikahan. Saat itu mengatakan ingin menikah dengan seorang laki-laki yang aku cintai, dan hanya punya usaha kecil-kecilan. Tapi kau belum ingin memberikan restu itu padaku, kau bilang aku takkan bisa bahagia hanya karena cinta, masih banyak yang harus dipikirkan, kau juga menganjurkan aku untuk mencari laki-laki lain yang punya pekerjaan tetap seperti PNS. Aku benar-benar marah saat itu, aku kecewa padamu yang terus saja memandang seseorang dari sebuah status social. Tak sengaja aku membentakmu, dan membuatmu menangis. Maafkan aku, ma. Itu kesalahan terbesar yang sepertinya sampai sekarang tak bisa aku lupakan, meski kau sudah memaafkan aku saat itu.

Ma….

Terima kasih sudah melahirkan aku, terima kasih sudah merawatku dengan penuh cinta hingga aku bisa seperti ini, terima kasih sudah mau menjadi pendukung tiap langkahku, terima kasih sudah menjadi penyemangat dalam keterpurukanku, dan terima kasih untuk banyak hal yang tak bisa aku sebutkan satu persatu.

Aku akan terus berusaha menjadi anak yang berbakti padamu. aku tahu, sudah banyak sekali nasihat yang kau berikan selama ini. Tapi tetap lah seperti itu, tetaplah berikan nasihat-nasihat itu, seumur hidupku. Selamat hari ibu mama.

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community :http://www.kompasiana.com/dwiayu

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline