Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Netizen, Kesehatan Mental dan Dampak dari Jarimu Harimaumu

Diperbarui: 21 Juni 2024   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

cnnindonesia.com

Sampai batas mana kesadaran netizen dalam memahami etika dan adab dalam bermedia sosial? Pertanyaan dan semacam refleksi dalam kalimat itu mencoba memahami perkembangan media sosial sekarang ini yang berkecenderungan membully, nyinyir dan komentar yang kebablasan, hingga membuat banyak pihak terimbas dengan kejamnya komentar- komentar netizen. Bisa diibaratkan Jarimu harimaumu.

Batas Kesopanan Netizen di Kolom Komentar

Banyak publik figur merasa menjadi korban dari kejulidan netizen yang berkomentar tanpa tedeng aling-aling. Mereka yang dilihat sebagai aktor antagonis, mendapat cibiran, nyinyiran yang luar biasa. 

Kadang sampai masuk wilayah pribadi, bermula dari berita katanya, mungkin, kayaknya lalu dibuat seolah-olah merupakan kebenaran. Dari tayangan itu lantas netizen membuat sekumpulan justifikasi yang akhirnya membuat ledakan emosi dan amarah.

Jari-jari netizen di era digital ini perlu filter dan filter itu bernama kesadaran dalam keberadaban. Jika peradaban dalam masa pancaroba, terjadi perubahan dan paradigma politik tidak perlu emosi dengan memaki dan melontarkan kata-kata kasar atau skeptis. 

Kadang pengetahuan netizen terbatas pada berita-berita viral, clickbait,berita hoaks yang beredar. Mereka tidak cek dan ricek data. Hanya sekedar emosional menumpahkan kebencian tanpa tahu duduk perkaranya.

Untuk bisa menuliskan opini dan kata-kata di media sosial kadang netizen tanpa takaran, sekedar nyinyir dan mengumpat tetapi tidak memperhitungkan dampak dari kata-katanya. Jika netizen pernah duduk dibangku sekolah pasti sudah diajarkan etika dan sopan-santun dalam berkata-kata. Nah, ajaran-ajaran dalam sekolah formal itu adalah dasar untuk mengerem kata-kata yang berdampak negatif yang bisa menyebabkan kerawanan sosial.

Susahnya dari jutaan pengguna gadget itu, tidak semuanya sadar bahwa kata-kata yang terlontar di media sosial itu bisa memberikan dampak buruk bagi hubungan antar manusia.Hal-hal yang viral, isu-isu sensitif dilibas habis, netizen seperti ingin menuntaskan emosi dengan mencibir, membully dengan kata-kata, mengetik kata-kata yang seharusnya tidak terlontar sebagai manusia yang hidup dalam batasan budaya, sopan santun adab dan norma-norma ketimuran.

Saat ini media sosial seperti menegasikan pengaruh budaya liberal yang tanpa tedeng aling-aling. Penulis sering geleng-geleng  kepala sendiri terhadap tulisan-tulisan netizen di kolom komentar. 

Sebegitu parahnya mereka terhadap tokoh, terhadap politisi, terhadap public figur yang dihabisi dengan lontaran kata kasar hanya karena berita yang masih simpangsiur, belum tentu benar, namun karena viral dan lebih banyak opini negatif maka banyak dari mereka sengaja ikut memaki tanpa tahu permasalahannya. Bahkan hanya karena judul berita bisa menyimpulkan dan melontarkan kata-kata tanpa mengecek fakta dan keterangan lengkapnya.

Untuk saat ini  siapapun pemerintahnya harusnya ada aturan tegas untuk memberi efek jera pada netizen yang memanfaatkan akun-akun kloning untuk meneror media sosial dengan komentar-komentar tidak layak.

Dampak dari komentar netizen secara psikologi bisa mempengaruhi mental seseorang terutama publik figur. Yang terupdate ini misalnya keluarga Ruben Onsu. Kejamnya kata-kata yang terlontar dari netizen menyebabkan keluarganya mengalami perundungan. Banyak isu, fitnah yang kencang beredar, hingga muncul berita Ruben Onsu menggugat cerai istrinya Sarwendah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline