Pameran Seni Rupa dengan tema BERGERAK dibuka oleh Hikmahanto Juwana seorang ahli Hukum Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tadinya dalam poster pra pameran oleh Denny JA yang akan membuka Pameran. Pameran berlangsung dari tanggal 21 Mei sampai tanggal 25 Mei 2024, di Lobby Teater Besar TAMAN ISMAIL MARZUKI Jalan Cikini Raya no 73 Menteng Jakarta Pusat. Ada 6 pelukis dari Yogyakarta dan juga 6 Pelukis dari Jakarta. Tokoh yang membuat pameran ini menarik adalah Nasirun pelukis asal Banyumas yang lama tinggal di Yogyakarta.
Benarkah berbeda gaya lukisan Jakarta, Bandung dan Yogyakarta?
Pernahkah mendengar bahwa gaya lukisan antara seniman Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung itu beda banget. Yogyakarta dipengaruhi oleh kekentalan budaya, sentuhan mistis, dan alam sebagai ide awal dalam melukis. Gaya melukis seniman Yogyakarta lebih bebas dan seringkali bersentuhan dengan masalah yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Dalam sebuah artikel penulis membaca bahwa dasar dari ide lukisan seniman adalah realisme sosial atau realisme rakyat. Salah satu yang menjadi ciri khas yang sering dibuat oleh seniman eskpresionisme Affandi.
Lalu apa yang menjadi ciri khas lukisan Jakarta atau ibu kota negara? Saya susah menemukan ciri khas lukisan jakarta, sebab seniman yang ada rata-rata berasal dari daerah juga ada pelukis yang belajar di Bandung atau Yogyakarta memilih Jakarta sebagai tempat mencari ladang rejeki, tempat di mana banyak kolektor, pecinta seni, pedagang, pengusaha besar arus besar peredaran uang sehingga tidak salah mengandalkan keahlian melukis untuk menjemput pasar dan berusaha eksis melukis dengan gaya tergantung masing-masing seniman.
Gaya lukisan Bandung banyak dipengaruhi oleh lukisan abstrak sebagai representasi dari banyaknya seniman akademisi yang berlatar belakang pendidikan Barat. Terutama dari ITB. Namun seiring waktu perbedaan kultur itu semakin bias, karena bagaimanapun pelukis menemukan gaya lewat proses kreatifnya sendiri. Bukan karena unsur lokalitas, tetapi sudah bergerak global.
Yang jelas tidak ada gaya signifikan yang membedakan bagaimana pelukis Jakarta, Pelukis Yogyakarta, dan Bandung. Pelukis ada yang beraliran abstrak, ekspresionisme, surealisme, realisme. Pop art hingga seni kontemporer. Gagasan dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan.
Mengapa harus menonton Pameran ini? Dalam setiap peristiwa budaya, setiap event entah pameran, pergelaran, selalu ada misi yang hendak diperjuangkan oleh seniman dan pelaku budaya. Kebetulan Jakarta tahun ini akan mengakhiri statusnya sebagai Daerah Khusus karena menjadi ibu kota negara. Jakarta kembali menjadi provinsi biasa, namun berharap akan bergerak menjadi Kota Global yang terus menggerakkan roda ekonomi dan juga pusat pergerakan budaya. Antara lain kegiatan pameran seni.
Ada banyak tempat yang layak untuk mengenalkan karya seni para seniman Indonesia yang diharapkan bergerak meluas hingga "menginternasional" Bukan lagi lokal namun mengglobal menguasai dunia. Indonesia mempunyai modal budaya yang sangat besar, bila dimanfaatkan akan membuat Indonesia dikenal sebagai negara besar yang kaya akan produk budaya. Masalahnya ada di kebijakan pemerintah, dukungan mereka untuk menggerakkan budaya sangat penting, bukan hanya infrastruktur saja yang diperbanyak, tetapi juga pendidikan seni, pengenalan literasi budaya, penghargaan terhadap karya seni dan penghargaan terhadap hak cipta.
Perlu payung hukum yang kuat agar seniman, pencipta lagu, masyarakat kreator dapat mengembangkan kemampuan secara maksimal. Penulis sempat berbincang dengan salah seorang pelukis yaitu Kembang Sepatu (waktu itu ditemani oleh Mas Padhik dan mas Gogor). Pada intinya para seniman itu melukis untuk mengekspresikan kegelisahan bathinnya, tentang situasi kondisi negara, situasi sosial dan politik yang membingungkan.
Mau dibawa Indonesia, ketika Indonesia yang besar ini hanya dikuasai oleh segelintir orang, dan juga lebih sangat bergantung para partai politik untuk menentukan pemimpin negara. Dalam sebuah kontestasi politik ada pergeseran sikap. Banyak seniman merasa bahwa mereka melihat banyak ketimpangan. Arus besar belum tentu berkualitas, yang sedikit menurut mereka bisa jadi bagian dari kebenaran namun tertimbun okeh arus besar hingga susah bergerak untuk mengubah keadaan.
Daya kritis seniman kemudian diwujudkan dengan lukisan. Kembang Sepatu misalnya mencoba menyatakan kegelisahan jiwanya dan juga mengkritik terhadap realiatas sosial dengan membuat lukisan yang dominan dengan sandal. Sandal itu mewakili rakyat posisinya selalu dibawah. Ia menjadi alas bagi manusia untuk bergerak melindungi dari paku, kotoran, dan juga benda-benda yang menyakitkan. Ada banyak warna sandal, kadang diatur rapi kadang berantakan, tetapi bagaimanapun manfaat sandal walau identik dengan rakyat jelata sangat dibutuhkan sebagai alas kaki paling murah.