Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka Menang di Pemilu 2024 versi hitung cepat.Dalam setiap gelaran pemilu selalu ada cerita-cerita yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, semua tentang gaya atau style masing masing kandidat. Sejak Reformasi berjalan dalam upaya belajar tentang menjadi negara demokrasi selalu muncul wacana curang di pihak yang kalah dan lain ceritanya pada pihak yang menang. Mereka akan berkata Karena dukungan rakyatlah kami bisa merayakan kemenangan. Kawal kemenangan kita.
Wacana Pemilu Curang dari Pemilu ke Pemilu
Yang kalah merasa bahwa pemilu yang baru saja berlangsung sudah direkayasa siapa pemenangnya. Sementara berita berita hoaks dan upaya penggiringan opini selalu muncul sebelum pemilu dan pencoblosan untuk mempengaruhi pemilih yang masih bingung. Kali ini kemenangan Prabowo Gibran ada yang sudah memprediksi dengan kata berulang kecurangan secara masif dan terstruktur, banyak kecurangan terjadi di TPS-TPS sehingga yang diuntungkan adalah dari pihak incumbent atau yang tengah berkuasa.
Bom fitnah dengan berbagai cara. Jaman sebelum medsos digital, isu dihembuskan dengan menggunakan koran atau tabloid partisan, disebarkan dengan tujuan mendowngrade tokoh yang berpotensi menang. Media dicetak dalam jumlah besar dengan data-data yang mungkin saja tidak sesuai kenyataan. Tim pemenangan pemilu merekayasa dengan hitung-hitungan politik untuk bisa menang lewat beberapa strategi. Salah satunya adalah Eep Saifulloh Fatah, yang pernah menjadi tim pemenangan Jokowi Kalla.
Cerita tentang kecurangan muncul dari pihak yang kalah bertujuan untuk membalikkan fakta kemenangan, dengan tidak mempercayai Quick Count. Padahal dari pemilu ke pemilu perbedaan perhitungan antara QC dan real count KPU itu tipis. Tetap saja paslon kalah tetap belum bisa menerima kekalahan.
Di Era medsos itu, orang bingung mempercayai yang benar dan yang salah itu mana? sebab semua pihak mendaku dirinya paling benar dengan sudut pandang masing-masing. Mereka akan membela tokohnya dengan opini yang sudah terpola di pikiran. Manusia modern muncul egoisme masing-masing dipengaruhi oleh media yang diproduksi dengan sudut pandang masing-masing.
Jika banyak yang mengatakan misalnya Jokowi itu berubah, nyolong pethek, Pengkhianat, Plonga-plongo dan berbagai julukan lain itu sisi emosional dari orang yang tidak suka padanya. Berharap tahun ini terjadi perubahan dengan munculnya narasi pengkhianat konstitusi, anak haram konstitusi, bebek lumpuh, petugas partai.
Dibalas dengan emosional oleh pemimpin partai berapi-api untuk menghakimi dan memojokkan lewat kata-kata pedas berapi-api, namun ternyata pernyataan emosional berbalik, bukannya simpatik tetapi malah menjadi senjata makan tuan. Banyak yang berbalik arah karena pernyataan tendensius.
Pemilu Terunik
Kemenangan Prabowo dan Gibran itu bagi saya termasuk pemilihan terunik. Siapa sangka tiga bulan lalu Gibran itu dianggap orang bukan siapa-siapa di kancah nasional. Dalam waktu cepat muncul pergerakan masif untuk menaikkan elektabilitas Gibran yang masih muda dengan media sosial kreatif dan masuk dalam ruang visual pengguna gadget. Dari olok-olok masyarakat terus dijadikan brand, dan akhirnya julukan buruk yang disematkan massa malah membawa keberuntungan.
Banyak kaum"melek ilmu" jadi merasa keminter dan sombong dengan mengatakan anak ingusan, bocil, tidak layak menjadi wakil presiden karena tidak punya pengalaman di dalam pertarungan politik nasional (belum punya pengalaman di parlemen dan pertarungan politisi).
Semakin direndahkan dan disepelekan bukannya merosot tetapi malah melejit.
Masyarakat Indonesia memang unik, mereka akan lebih simpatik pada sosok yang diam, membiarkan dirinya dibully dan dijawab ejekan itu dengan santai. Hasilnya benar-benar diluar akal pikiran "intelektual".
Pada saat masa tenang muncul film yang berisi penggiringan opini Dirty Vote, tujuannya mungkin mengingatkan akan upaya masif, terstruktur munculnya kecurangan dari pihak penguasa. Bom narasi itu diharapkan dapat menggembosi suara-suara bulat yang akan ditujukan pada calon yang dekat dengan penguasa.