Semakin mendekati hari pemilu yang jatuh di tanggal 14 Februari 2024 suasana politik di media sosial, media pemberitaan tambah panas. Salah satu indikatornya semakin banyak isu-isu liar yang kebenarannya dipertanyakan. Pembaca dan netizen harus bijaksana memilah dan memilih berita. Perlu mengendorkan urat syaraf agar tidak terjebak dalam dukung mendukung toxic.
Beberapa isu beredar yang trending saat ini adalah mundurnya beberapa mentri populer Kabinet Indonesia Maju. Berita isu mundurnya mentri dipicu oleh keberpihakan presiden terhadap calon tertentu. Apalagi partai pendukung pemerintah saat ini malah sering melayangkan kritik tajam terhadap presiden yang cenderung dekat dengan partai lain padahal ia adalah kader yang diusung oleh partai tersebut.
Eskalasi politik yang semakin panas itu selalu berulang tiap lima tahun sekali. Menjelang pemilu ada pembelahan, politisi banyak yang menjadi kutu loncat, seperti bunglon berganti warna, kesetiaan mereka hanya pada kepentingan yang diusung. Pada partai politisi terus berhitung apakah menguntungkan atau tidak untuk keterpilihan mereka di parlemen. Partai baru harus berjuang, banyak yang gagal di tahun-tahun pertama dan kesempatan pertama mengikuti pemilu. Selanjutkan mereka akan mencoba gabung ke partai-partai besar. Berkolaborasi demi mendapatkan kue kekuasaan.
Isu, hoaks, berita-berita yang diragukan kebenarannya selalu hadir, apalagi di zaman media sosial seperti sekarang ini. Suara masyarakat demokratis memunculkan kemerdekaan berpendapat mereka, menyuarakan hati nurani masing-masing dilatarbelakangi oleh ideologi, agama, ketokohan pahlawan demokrasi semacam Soekarno, tokoh pergerakan ekstrem kanan dan sosialis.
Yang saya amati di media sosial, komentar netizen banyak didasari sentimen kelompok, buzzer-buzzer musiman, pegiat media sosial yang emosional, aktivis radikal yang pelan-pelan ingin membawa pengaruh ideologinya hingga menginfluence netizen untuk mengikutinya dan mencuci otak dengan doktrin-doktrin radikal yang mereka pahami. Ada juga netizen yang berusaha menetralisir keterbelahan dengan mencoba memasukkan kata-kata bijak meskipun pengaruhnya tidak banyak.
Situasi memanas karena masyarakat melihat bahwa setiap rezim selalu meninggalkan jejak sejarah yang membuat mereka seperti tidak percaya lagi pada pemerintahan yang berkuasa. Di setiap rezim pemerintahan selalu ada kekurangan yang terekspos, adalah ketidaksempurnaan yang sengaja diblowup. Ada tokoh yang kecewa lalu loncat ke partai yang bisa melanggengkan kekuasaan dan tetap dalam lingkaran kekuasaan. Banyak yang dulunya merah berganti biru, selanjutnya ke kuning atau kembali ke merah. Suka-suka mereka.
Mereka tidak setia pada perkawanan sejati yang diyakini adalah kesetiaan pada kepentingan untuk tetap dalam lingkaran kekuasaan. Yang terjadi sekarang yang kecewa adalah kawan seiring, yang dulunya berjuang bersama-sama tetapi karena akumulasi kekecewaan, kepentingan yang tidak terakomodasi akhirnya harus berbeda arah.
Prabowo, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo. Mereka pernah bersama, namun akhirnya harus berseberangan karena persaingan mendapatkan kesempatan untuk menjadi RI 1. Anies Baswedan pernah satu gerbong dengan Prabowo ketika pemilukada 1917 di DKI Jakarta, namun dalam debat calon presiden tampaknya Prabowo harus kecewa dengan mantan sohibnya yang didukung allout semasa pemilukada. Bahkan dalam jejak digital yang bisa ditelusuri janji Anies untuk Prabowo. Anies Janji tidak akan tak akan maju sebagai capres ketika Prabowo mengikuti kontestasi pemilihan presiden(pilpres). Anies dan Ganjar pernah menjadi gubernur dan menjalin relasi baik sebagai sesama gubernur.
Janji Anies itu rupanya dilanggar oleh Anies Baswedan. Alasan Anies Baswedan karena konsteks pemilihannya adalah saat menjadi gubernur, dan konteksnya pemilu di tahun 2019 ia tidak maju sebagai calon presiden. Sedangkan menurut Anies tidak berlaku untuk 2024 karena janjinya sudah ditepati untuk menyelesaikan tugas sebagai gubernur selama 5 tahun. Dan ia bebas menentukan sikap setelah selesai sebagai gubernur DKI Jakarta.
Anies dan Ganjar pernah menjadi gubernur dan menjalin relasi baik sebagai sesama gubernur. Ganjar mewakili kelompok nasionalis dengan latar belakang marhaenis, sukarnois dalam ideologi lebih dekat ke sosialis demokratis. Anies lebih dikonotasikan kelompok kanan yang lantang menyuarakan perubahan.