Tujuhbelas Agustus 2023 saya berangkat pagi naik transjakarta. Sudah banyak pegawai, anak-anak, orang kantor berbaju merah putih, seragam PGRI, seragam ASN. Saya memakai seragam guru. Meskipun di tas juga tersedia baju ganti, karena siapa tahu setelah upacara bisa mampir di Istana merdeka melihat dari dekat keramaian pengunjung. Jam 8.30, meluncur menuju stasiun transjakarta di Sawah Besar. Tujuan ke Monas. Dari Stasiun Monas keluar jalan kaki melewati Jalan Medan Merdeka Barat yang lengang tidak ada mobil lalu lalang). Dengan santai bisa berjalan menuju Jalan Medan Merdeka Utara.
Keramaian mulai terasa karena orang-orang yang daripagi sudah menyisihkan waktu tampak mengerumuni pagar istana yang dijaga oleh tentara dan polisi berpakaian batik dan PDH. Ada yang bertampang sangar ada petugas yang ramah yang bercanda dengan pengunjung. Yang tidak mendapat kesempatan di undang hanya bisa melihat kesibukan upacara dari balik pagar, berdesak-desakan, dengan peluh membanjir dan panas terik yang semakin menyengat. Tetapi rupanya semangat orang-orang tidak kendor. Tetap saja bertahan meskipun harus berlelah ria berdesakan.
Bule, pengunjung asing, WNA dari China, pegawai yang baru saja ikut upacara di kantornya, remaja, pedagang minuman, cindera mata memberi warna tersendiri pada gelaran upacara di istana merdeka. Saya tidak bisa bercerita tentang bagaimana detail upacaranya. Hanya bisa bercerita suasana di luar pagar. Tumpah ruahnya pengunjung menyisakan banyak cerita. Fotografer, wartawan TV, wartawan majalah dan koran, ada di setiap sudut. Saya malah tertarik dengan seseorang yang berusaha menarik perhatian pengunjung. Namanya Suwono, pria asal Kediri yang berprofesi sebagai petani, mengaku sebagai satrio piningit dan membuat poster yang tergantung di depan dan belakang punggungnya.
Entah apa yang dipikirkan sampai jauh-jauh ke Jakarta hanya ingin mencoba meyakinkan banyak orang bahwa dialah presiden sesungguhnya satrio piningit bersenjata pacul. Wajahnya tampak lebih tua dari umurnya karena ia mengaku masih berumur limapuluhan tahun, tapi dari raut wajahnya sudah tampak seperti di atas umur 60-an.
Di negara demokrasi ia mempunyai hak suara, bebas menyuarakan kekecewaan dan mimpinya. Tidak semua orang di Indonesia bisa tersentuh kemajuan, banyak yang masih harus bekerja keras, meskipun harus kecewa karena hasilnya tidak sepadan dengan pengeluaran akibat semakin melambungnya harga. Pupuk mahal, dan ujung-ujungnya tengkulak memainkan harga dan tercekik utang untuk membeli pupuk. Untungnya banyak petani di desa kreatif, ia masih mencoba mencari akal dengan menjadi penambang pasir dan usaha dagang berbasis daring. Yang kreatif menangguk untung dengan semakin majunya teknologi, tetapi mereka yang masih konvensional menjerit karena antara panen dan pemeliharaan tidak sebanding, cenderung tekor. Apalagi petani yang hanya mempunyai tanah sepetak dua petak.
Bagaimanapun pemerintah tidak serta merta bisa mensejahterakan petani, masih banyak yang belum tersentuh, dan keluhan demi keluhan datang, termasuk pak Suwono, yang berharap ada keadilan untuk petani. Maka ia berusaha mencari perhatian meskipun kadang banyak orang malah mentertawakan. Suwono tidak peduli, meskipun panas terik ia tetap tegak berdiri di depan istana. Ia mendaku menjadi presiden, presiden yang tersembunyi jarang tersorot kamera.
Lain lagi dengan Sugiyono, pria asal Kroya yang sudah tinggal lama di Jakarta di sekitar Gang Kelinci, Pasar Baru. Ia tampak mengenakan baju merah seperti seragam veteran RI dengan lambang-lambang yang menempel di dadanya, berkaca mata hitam. Ia sendirian. Di tangannya tampak tongkat pendek merepresentasikan sebagai Soekarno sang proklamator.
Masih banyak masyarakat yang tumpah ruah di depan Istana yang menampilkan keunikan sendiri. Mereka bebas memaknai kemerdekaan. Penjual air minum ikut menikmati rezeki, jualannya laku keras. Omzet penjualan minuman bisa dua kali lipat harga sebenarnya. Dan itu berkah di hari kemerdekaan. Para reporter TV dari berbagai channel bertebaran berusaha mewancarai penonton yang tampak mengenakan baju unik. Tentu saja mereka ingin mendapatkan berita yang berpotensi viral. Youtuber, konten kreator turun dengan peralatan mobile, drone, standard kamera. Fotografer dari yang pemula sampai profesional datang mengabadikan moment kemerdekaan.
Sementara di tempat lain di kampung-kampung, di gang-gang suasana hari kemerdekaan dimanfaatkan untuk melakukan lomba-lomba unik.