Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Butir-butir Kerinduan (4)

Diperbarui: 12 Mei 2022   13:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi oleh Joko Dwiatmoko

Benarkah karena cinta membuat rindu semakin menggebu? Apakah rindu itu karena bayangan cinta yang terus melambai. Apakah karena sosok gadis remaja masa lalu membuat bayangan desa dan kedamaiannya seperti menari-nari ke otak dan alam bawah sadar?

Puluhan pertanyaan selalu datang, ketika aku mencoba menyisihkan waktu menikmati sunyi yang hanya sekejab. Kututup pintu, kubuka jendela, memandangi, tembok-tembok tinggi di kiri kanan rumah. Sengaja kututupi kuping dengan suara-suara gamelan dari MP3 dan YouTube. 

Kudengar alunan musiknya yang merdu sambil mengagumi hal-hal yang tak terpikir. Misalnya saja mengapa bebunyian yang berbeda itu bisa menjadi harmoni, antara satu bunyi satu dengan yang lainnya bisa saling mengisi dan memberi kekayaan warna iramanya.

Alunan gamelan dari bonang barung, bonang penerus, slentem, gender, gambang, saron, kendang dan gong. Alat musiknya berbeda tetapi disatukan iramanya oleh komposisi manis yang saling mengisi kekurangan hingga musik terasa sempurna.

Saat ini semakin banyak manusia yang melupakan gamelan, wayang dan alat musik tradisional lainnya. Kuakui termasuk diriku yang menjadi budak dari manusia kota yang penuh ambisi dan egois. Tidak lagi mempunyai kepedulian dan masa bodoh dengan tetangga. 

Sekelebatan aku jadi ingat ketika dulu bersama tetangga membangun rumah.

Saling bantu, holopis kuntul baris, yang berat menjadi ringan yang tidak mungkin menjadi mungkin, semua karena kebersamaan, tidak ada sekat agama, tidak ada yang ngomong tentang ras, kulit dan suku. Semuanya fokus untuk saling membantu untuk menyelesaikan tugas bersama. 

Setelah selesai tampak kepuasan, senyum tulus dari manusia yang saling membutuhkan. Hal yang jarang kutemui di perkotaan, yang langka hadir karena semua keringat seperti diukur dengan uang, uang dan uang.

Yang terjadi adalah transaksi berapa kamu membayar saya untuk sebuah jasa? Tetapi itu realistis kalau di kota. Hanya bekerja gratisan tanpa bayaran bagaimana bisa hidup di kota yang semua (tampak) diukur dengan uang. Memang tidak semuanya sih, masih banyak manusia yang rasa sosialnya tinggi, membantu sesama manusia dengan tulus, tetapi berapa prosentasenya?

Nah, butir butir rindu itu semakin menjadi debu ketika serentetan egoisme menjadi modal bertahan hidup di kota. Cinta pun akan menderita tanpa adanya uang, kekayaan dan kecukupan.

Kekasih sekarang akan berkata, "bisakah kamu membawa aku untuk makan di kafe, di mall, di restoran mewah Pondok Indah. Bisakah mencukupi kebutuhanku agar wajah tampak glowing dan gigi mengkilat karena perawatan intensif."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline