Di sekitar kehidupan manusia, kita selalu menemukan kontradiksi. Antara hitam dan putih, ada jahat dan ada yang baik, baik banget bahkan. Ada yang hidupnya selalu penuh perhitungan, selalu diukur dengan uang, ada yang bahkan dirinya sendiri tidak diurus, total membantu orang tanpa perhitungan. Kebaikan itu muncul dari lingkungan dan keluarga yang memberi contoh bagaimana mengutamakan untuk bisa memberi daripada mengharapkan bantuan dan uluran tangan.
Bibit- bibit kebaikan itu sudah muncul dari teladan orang tua dan itu menjadi pembelajaran yang efektif untuk menanamkan dalam pikiran, dalam alam bawah sadar untuk lebih banyak mencurahkan perhatian pada orang lain, pada masyarakat tanpa memperhitungkan apakah mendapat balasan atau tidak.
Dari lead artikel saya ini di mana posisi anda pembaca. Semoga para pembaca adalah barisan orang- orang baik yang selalu mengutamakan tindakan memberi daripada bergantung pada pemberian.
Saat ini mau tidak mau diakui bahwa telah terjadi krisis, moral, krisis politik, krisis mental dan akibat terjangan wabah yang melanda dunia dua tahun belakangan ini. Banyak orang kehilangan pekerjaan, banyak yang kehilangan sanak saudaranya karena virus yang merenggut nyawa ribuan nyawa bahkan jutaan nyawa di seluruh dunia.
Bermula dari virus yang dengan cepat menyebar di Wuhan China, menyerang paru- paru memperlemah imun manusia, membuat saturasi oksigen dalam tubuh menyusut dan berbagai persoalan sosial dan kontradiksi kebijakan pemerintah yang silang sengkarut.
Alur komunikasi pemerintah pusat dan daerah, tersendat. Duka lara hampir setiap hari datang, di media sosial selalu muncul innalillahi, RIP dan berita sedih yang terus didengar.
Sampai kapan, manusia tidak pernah tahu. Saking lelahnya manusia banyak yang akhirnya tidak percaya, dan cenderung menjadi penghambat dari upaya bersama mengatasi dan menutup jalan virus menyebar.
PPKM terus diperpanjang sedangkan kasus yang terkena virus semakin bertambah. Kuburan penuh, dalam jangka setahun saja blok- blok di kuburan penuh, tidak bersisa, terus ditambah lagi tempatnya dan dengan cepat pula penuh. Seakan tidak pernah reda duka yang dihadapi manusia. Lalu manusia menyalahkan siapa.
Politisi tentu saja akan menuding pemerintah biang ketidakbecusan pencegahan, sedangkan pemerintah tentu saja tidak mau disalahkan begitu saja. Pemerintah pusat mengatakan mereka sudah mencairkan dana dari cadangan devisa dan APBN ke pemerintah daerah, sedangkah pemerintah daerah berdalih bantuan dari pusat lambat, sehingga mengganggu upaya pemerintah daerah untuk cepat membantu mereka yang tidak mampu lagi secara ekonomi menghadapi aturan ketat pemerintah.
Saling tuding dan jegal menjadi pemandangan tidak elok diantara rasa kesedihan yang susul menyusul datang. Tante, om, pakdhe, adik, orang tua, tiba tiba meninggalkan kita dengan pemakaman ala kadarnya, Kesedihan yang tertahan, tidak berdaya kecuali pasrah sambil menangis tetapi tidak juga bisa berbuat apa- apa untuk membantu. Yang bisa hanya berdoa semoga wabah cepat berlalu.
Saat duka lara, emosi menjadi lebih sering terletup, ungkapan kecewa, dan frustasi menjadi biang dari banyaknya pelanggaran. Hal yang dulunya sering dibanggakan yaitu jiwa kegotongroyongan banyak yang luntur, yang muncul adalah mulut yang mudah mencaci, jari jempol, yang lebih sering menunjuk ke bawah, serta ungkapan kata di media sosial yang tidak juga bertobat dari kesenangan mencaci maki.