Setengah tujuh pagi, saya mengenakan jersey, siap menggenjot sepeda MTB. Setelah mempersiapkan diri dengan melakukan pemanasan, saya berangkat menuju ke arah Barat. Tujuannya dalam angan sih ke pemandian Sodong, namun dalam perjalanan belok arah, saya menyusur saja jalan - jalan desa yang menuju arah TPU Jonggol.
Di Jonggol saya termasuk orang baru, belum lama tinggal dan baru beberapa bulan tinggal di perumahan Citra Indah. Yang menarik setelah tinggal di Jonggol adalah bukit bukit kecil yang terhampar, rasa penasaran saya pada alam dan naluri blusukan saya. Tentu saja saya kurang suka jalan normal, yang menarik adalah jalan alternatif kalau perlu menyusur sawah, meskipun dengan resiko ban berbalut lumpur tebal. Tidak masyalah hehehe.
Namun pada tes pertama menyusur jalan berkelok, menanjak, becek, berlumpur ternyata nafas saya sudah megap -- megap. Sudah lama tidak nggowes menempuh jarak jauh membuat nafas menderu, ngap- ngap. Saat jalan menanjak saya lebih sering istirahat, setelah nafas teratur kembali baru meneruskan perjalanan. Untungnya ketika ketemu perkampungan penduduk yang hanya sekitar dua tiga rumah dan menemukan warung, saya mesti istirahat, menyeruput teh, buang hajat di bilik mandi sederhana banget.
Suasana kampung sepi dikelilingi hamparan sawah luas yang menurut penerawangan saya adalah proyek percontohan dari Istitut Pertanian Bogor. Daerahnya tepat di tepi hutan Sawit desa Singasari Jonggol. Saya menyusur jalan setapak, dengan sepeda yang belepotan dengan lumpur. Setelah pulih tenaga, saya melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang terus menanjak. Ini baru pertama saya lalui, benar- benar luar biasa tapi tampaknya jalan itu pasti sering digunakan untuk trek menantang motor trail, atau pesepeda yang memilih jalan cukup ekstrem.
Kalau melirik suasana perkotaan seperti tercermin di perumahan yang termasuk luas dan besar di kawasan Jonggol betapa njomplangnya. Rumah - rumah yang dibangun amat sederhana sekedar untuk berteduh. Namun mungkin beda dengan suasana hati mereka. Meskipun hidup di ibaratnya gubuk sederhana, menyatu dengan alam, sunyi senyap dari hiruk pikuk negeri yang dipenuhi oleh perdebatan politik dan saling jegal dalam hal kekuasaan, tampaknya mereka lebih senang menikmati jengkerik dan larut bersama tanaman tanamannya yang sebetulnya hasilnya tidak seberapa.
Ketika saya putuskan blusukan ke tempat - tempat yang masih alami, saya semakin kagum bahwa alam Indonesia memang luar biasa. Subur dan indah. Melihat hamparan sawah terbentang, melihat bagaimana alam masih memberikan berkah saya hanya khawatir sebentar lagi lahan -- lahan pertanian itu akan segera lenyap, berganti dengan perumahan yang mau tidak mau dipenuhi oleh beton -- beton, aspal dan berbagai bangunan yang melenyapkan kesuburan. Meskipun penghuninya hobi bertanam, namun lama- lama lahan pertanian akan semakin menyusut. Itu pasti, jumlah manusia akan terus bertambah dan mereka butuh tempat berteduh yang nyaman. Maka tanah subur dari petakan petakan sawah semakin tergusur.Apa yang terlihat di pinggiran kota seperti Jonggol mengindikasikan bahwa tekanan modernitas semakin meminggirkan kegiatan alami yaitu pertanian.
Saya sendiri yang berasal dari desa merasa berdosa juga. Sebagai salah satu putra yang lahir dari desa yang sebagian besar hidup dari bertani saya malah pergi ke kota mencari pengharapan baru. Kulit telapak semakin tipis dengan hanya mengandalkan jari dan otak untuk mencari uang. Padahal desa butuh orang -- orang seperti saya yang bisa memajukan desa dengan lahan pertaniannya.
Ya untuk memupus kerinduan saya pada desa saya di Magelang ( karena suasana masih pandemi ) saya terhibur dengan hamparan padi hijau, menyisir jalan setapak, menghirup udara segar pesawahan.
Tidak mengapa belepotan lumpur, sebab tanah gembur itu selalu menginspirasi untuk menulis, sekaligus memuliakan alam.
Gemburnya tanah, sunyinya alam, walau sesekali terdengar lantunan sholawat dari kejauhan, serta dentuman yang muncul, tetap saja itu sebuah harmoni, sesekali melepaskan penat dan tidak ingin larut dalam perang komentar di media sosial. Atau berita- berita yang membuat emosi meluap. Apalagi membaca komentar dari mereka yang hanya membaca sekilas dari judul dan paragraf, jarang melihat inti dari ajaran sehingga banyak paham keliru berseliweran.
Kalau mau melihat alam ya melihat intinya, bukan hanya gambar - gambarnya. Kalau pengin merasakan bagaimana kontur bumi ya jangan hanya obsesi dari video virtualnya (itu nasihat nurani saya pada kisah permenungan saya suatu pagi) jadilah saya blusukan ke hamparan alam sebenarnya, untuk mengetahui betapa megahnya apa yang terlihat di tengah harmoni alam hijau dengan segala pernik - perniknya.
Terkadang saya sering terlihat bodoh meskipun terlihat pintar ketika ngoceh sebagai penulis blog. Pada titik di mana saya berdiri di tengah alam, saya merasa kepintaran saya luntur oleh mereka pelaku utama pengolah alam yang amat gigih menghijaukan alam dengan segala keterbatasannya. Terimakasih alam yang telah memberi saya kesempatan untuk bisa menyesap udara bersih. Di kota saya jarang merasakan karena yang terlihat hanya hamparan sawah beton