Setiap manusia mempunyai rasa malas, mentok, tidak ada ide writer's block. Itu manusiawi. Tapi kalau anda penulis profesional semuanya bukan halangan untuk tidak menulis atau mandeg istirahat. Bagi penulis amatir seperti saya kalau lagi mandeg ide biasanya saya malah menulis tentang sisi malas itu sendiri. Mengapa malas, mengapa ide mandeg apakah tidak bisa menjumput ide yang banyak di sekitar.
Tanpa Ide Penulis Tetap Harus Menulis
Ada suatu situasi ketika bangun tidur pengin menulis tapi ide itu perputar putar, banyak yang ingin ditulis tapi semuanya ngambang tidak jelas. Padahal hasrat menulis meskipun kecil ada, dan spontan sudah membuka laptop dan siap mengetik. Ketika sedang menulis di kamar, lalu muncul istri mengajak ngobrol tentang ini itu, yah, melayang lagi ide sebetulnya yang sedang ditangkap. Setelah selesai ngobrol mencoba menulis lagi tetapi moodnya sudah beda.
Apakah penulis harus bekerja berdasarkan mood, apakah penulis tidak mempunyai konsep awal di mana kapanpun mau menulis ia sudah siap dengan konsep yang ada di otak. Bagi saya bukan sebuah hal mudah langsung menangkap ide, mungkin beda dengan penulis profesional karena sudah terbiasa dalam tekanan, terbiasa dengan target dan mereka harus menulis karena jika tidak menulis tidak ada pendapatan.
Memaksa menulis bisa membuat tulisan berantakan ? Itulah pengalaman saya biasanya setelah menulis lebih dari setengah halaman dan mood menulis mulai jalan ide itu datang berurutan. Tapi saya mesti menyepelekan ide itu karena harus menyelesaikan satu artikel sampai titik terakhir. Saya tidak peduli pada susunan bahasanya, pada typonya, pada tulisan yang melompat -- lompat dari satu topic satu ke topik lain. Kalau saya menulis artikel harus selesai paling tidak 500 kata. Idealnya untuk menulis seperti di Kompasiana yang lebih dari 700 kata dan kurang dari 1500 kata.
Saat buntu menulis saya cenderung menulis apa saja, apa saja ditangkap bahkan saat menulis artikel ini saya benar -- benar sedang berusaha konsentrasi untuk bisa menyelesaikan tulisan dengan memori yang ada dalam otak. Saya sudah berhadapan dengan laptop dan saya harus memperkosa mood saya untuk tetap menulis.
Saya harus pasang target karena ketika saya sakit dan berbaring di rumah sakit saya kurang produktif, meskipun menulis itu pekerjaan sampingan karena yang utama adalah sebagai guru, saya harus memastikan bahwa mencintai pekerjaan sampingan juga penting, siapa tahu nanti menjadi jalan bagi saya ketika sudah pensiun.Saya jadi punya kegiatan positif yang bisa menghibur melewati hari tanpa pekerjaan. Bisa jadi nanti menjadi pekerjaan utama, di samping pekerjaan lain yang masih bisa di jalani di hari tua.
Bahagia Ketika Bisa Menyelesaikan Tulisan dan Artikel Dipublikasikan Di Koran
Menulis memberikan kebahagiaan, memberikan spirit saat terpuruk. Dari dulu menulis bagi saya adalah terapi, bisa jadi tempat curhat karena kekesalan, emosi, cemas, ketidakberuntungan, patah hati bisa terlampiaskan dengan menulis. Ketika dulu menulis hanyalah sebagai pelarian dari kesuntukan atau, upaya menggelontorkan khayalan, seiring dengan berjalannya waktu kegiatan menulis ternyata bisa menghasilkan sesuatu. Meskipun hasilnya tidak besar, ketika menerima honor menulis pertama dulu rasanya selangit, artikel di koran itu hampir saya pandangi setiap saat, dan menjadi motivasi untuk bisa menulis lagi dan dimuat lagi.
Dari hobi dari hanya curhat ternyata ketika memutuskan mengirimkan di koran dan diterima setelah beberapa kali gagal dan ditolak rasanya amazing. Ada hasrat kecil yang tertanam bahwa suatu saat ingin menjadi penulis atau wartawan atau kolomnis, bergiat dalam dunia literasi, hingga akhirnya bisa memutuskan menjadi penulis profesional.
Guru dan Hasrat Menulis yang Besar
Dulu sempat mempunyai keinginan menjadi penulis profesional namun karena ada benturan persepsi dengan orang tua keinginan total menjadi penulis batal, dan akhirnya saya kembali menekuni karier sesuai jurusan saya guru seni rupa. Mula -- mula ada kontradiksi ketika saya harus mengajar dan berada di depan kelas. Rasa kebebasan yang terbatas, penuh aturan, penuh dengan pekerjaan administrasi membuat saya sering tergoda untuk keluar dan menjadi seniman atau penulis, tapi lama - lama saya merasakan mengajar itu mengasyikkan juga karena setiap hari , setiap tahun saya menghadapi manusia yang berbeda. Itu menjadi kegiatan yang membuat seorang guru tampak awet muda. Permasalahan selalu baru, selalu menemukan manusia dengan karakter berbeda. Itu tantangan tersendiri dan menjadi guru saya masih punya kesempatan dan peluang waktu untuk bisa tetap menekuni dunia tulis menulis.
Itulah meskipun pekerjaan utama saya mengajar di sela - sela waktu saya masih bisa menulis, masih bisa membuat kumpulan cerpen, bergabung untuk menulis antologi puisi dan antologi cerpen bersama teman komunitas. Dan di tahun 2010 bisa menabung tulisan di Kompasiana hingga terkumpul ribuan tulisan.
Kemalasan memang kadang menghantui setiap waktu tapi itu disiasati dengan memaksa diri meskipun kadang mengalami kemandegan ide. Saat saya menulis ini saya sedang malas dan tidak ingin menulis tapi saya dorong ke titik maksimal hingga mencapai lebih dari 700 kata. Ternyata saya bisa dan itu membuka semangat lagi untuk menulis di hari ini. Salam literasi.