Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

MUI, Pemerintah, dan Elite Politik, Kenapa Harus Alergi Kata "Introspeksi Diri"?

Diperbarui: 30 Maret 2021   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Agama, Gus Yaqut dan Dirjen Bimas Katolik Yohanes Bayu Samodro tengah menengok korban Bom Makassar di RS Bhayangkara (dokumen Dirjen Bimas Katolik )

Saat terjadi ledakan bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar yang langka terdengar dari pernyataan pemerintah, MUI  dan dari Presiden mengatakan bahwa peristiwa pengeboman itu tidak ada kaitannya dengan  agama. Juga wakil ketua MUI mengatakan bahwa pengeboman Gereja Katedral di Makassar tidak ada kaitannya dengan agama.

Yang terpikirkan apakah para pengebom yang penulis sebutkan mempelai benar - benar tidak beragama. Menurut informasi mereka dua orang yang tergabung dalam organisasi JAD (Jamaah Ansharut Daulah) itu taat beribadah, baru sekitar 7 bulan menikah dan saat bahagia malah memilih menghancurkan diri sendiri dan berharap banyak korban saat Minggu Palma di Gereja Katedral Makassar.

Mereka beragama lho, tapi ya itu pemahaman untuk mengurai ajarannya  banyak yang salah kaprah sehingga mereka merasa terdoktrin menjadi martir untuk sebuah tindakan konyol bernama bom bunuh diri. Apakah ada terlintas pada setiap pimpinan dari para Ulama untuk membuka diri,  introspeksi untuk membuka catatan - catatan dosa dan barangkali mengaku dosa bahwa ada yang salah dalam ajaran - ajaran para ulama di tingkat akar rumput. Mengapa masih banyak orang nekat untuk melakukan kekerasan , penghilangan nyawa dengan doktrin jihat yang ternyata banyak disalah artikan.

Apakah terpikirkan bagaimana membuat para penceramah, ulama  kembali ke jalan yang benar untuk bersikap untuk mengoreksi diri sendiri, bukan hanya mengacungkan telunjuk ke orang lain atau agama "tertentu". Apakah bisa mencoba mengalah dengan mengoreksi diri sendiri.

Introspeksi itulah jalan terbaik untuk bisa mengendalikan diri. Esensi berdoa pasti bukan hanya menghapal, meminta, berharap dan berhitung terhadap kebaikan yang sudah dilakukan. Berdoa juga seharusnya masuk ke dalam diri, mengoreksi kekurangan diri dan mencoba memperbaikinya sehingga akhirnya muncul diri yang baru yang mau terbuka dan mengakui kesalahan.

Di negeri ini telunjuk lebih berkuasa untuk menunjuk terutama mereka elite politik dan pemerintahan yang kadang lempar batu sembunyi tangan. Dalam peristiwa pengeboman yang mengarah ke tempat ibadat, mengapa tidak diakui sebagai kelalaian manusia, kelemahan pemerintah dan pemuka agama untuk mengajarkan akhlak, budi pekerti kepada jemaahnya sehingga banyak yang keliru dalam memahami esensi beragama.

Penulis tertarik dengan sepenggal tulisan dari Bapak Dirjen Bimas Katolik Yohanes Bayu Samodro MPd ketika melihat korban bom di rumah sakit Bhayangkara, 29 Maret 2021.

"Dalam kehidupan sehari-hari, kita terkadang menolak untuk menjadi rendah hati dan mengakui kesalahan yang kita lakukan. Ini terjadi, karena zaman sekarang paham tentang dosa sudah memudar. Kita sering berpikir bahwa itu bukanlah dosa, melainkan kesalahpahaman, kekeliruan, dan kurang pengertian."

Mewakili Departemen Agama dari perwakilan umat Katolik, renungan dari Bimas Katolik itu terasa relevan untuk dijadikan introspeksi diri. Manusia kadang menolak menjadi rendah hati, dan tidak kurang banyak mereka yang sudah berlabel ulama, pemuka agama, seperti terjebak dalam kata kata politis, mereka melempar istilah agama tertentu, tetapi tidak mencoba mengakui kekurangan, Sekarang pemahaman akan itu memudar cenderung multi tafsir, sehingga sering berakhir dengan kesalahpahaman. Contohnya ya cara perpikir para pengebom itu yang merelakan dirinya hancur untuk sebuah perjuangan sia -- sia. Mereka berjuang atas nama agama dan menyasar tempat ibadat agama lain, namun karena doktrin yang salah membuat ia malah dikutuk dan disayangkan telah mencatut perjuangan agama untuk sebuah kejahatan kemanusiaan.

Tampak Dirjen Bimas Katolik sedang berbincang dengan Korban Bom Makassar (dokumentasi Dirjen Bimas Katolik)

Radikalisme yang menyasar agama memang lebih efektif, dengan mengajarkan doktrin fanatik, radikalisme berkembang. Sasarannya pada orang -- orang tanggung yang pengetahuan agamanya lebih pada hapalan, sekedar taat tapi kurang paham esensi beragama secara mendalam. Mereka mau didoktrin dan diajarkan untuk menghancurkan kerumunan, menghancurkan mereka yang tengah beribadah sebagai jalan untuk bisa bertemu  di surga dengan puluhan bidadari yang siap menyambut. Para guru, penceramah itu harus ditatar dan diberi sertifikat legal, kalau tidak selalu akan ada penerus dan pelaku bom bunuh diri yang terus tumbuh dan berkembang.

Mabuk agama, egoisme dan individualism muncul karena doktrin terus menerus yang didengungkan tidak berhenti sampai otak penuh dengan kebencian dan kedengkian.

MUI sebagai lembaga atau wadah bagi para penceramah, pakar agama, pakar dalam bidang kajian agama dan salah tidaknya sebuah tindakan harusnya mengajarkan tentang bagaimana secara ksatria menumbuhkan sikap rendah hati untuk mengakui ada yang salah dengan pengajaran -- pengajaran di tingkat akar rumput. Nah dengan introspeksi diri mereka berbenah dari dalam, mengatasi carut marut aturan dan ketentuan sesuai standar ceramah yang menyejukkan dan tidak memprovokasi.

Sekarang banyak penceramah hanya berbekal pintar bicara, sedikit memahami ayat, bisa memainkan emosi masa lantas menjadi selebritas baru. Media sosial menjadi jembatan untuk memviralkan ceramahnya, tidak peduli kontroversial dan memprovokasi yang penting cepat terkenal dan laris diundang, viewer banyak dan viral.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline