Sejumlah penulis politik populer seperti Fery Widyatmoko, Elang Salamina, Arnold Adoe, Susy Haryawan, Yon Bayu Wahyono boleh jadi mendulang pembaca di kanal politiknya. Mereka berani mengambil resiko menulis politik yang boleh dikatakan ngeri -- ngeri sedap. Sebab banyak tanggapan datang dari pembaca umum, seperti netizen yang kepo, para buzzer, dan mungkin influencer yang sengaja menaikkan kadar tensi politik tanah air.
Kanal politik itu gurih tapi resikonya juga luar biasa. Maka mereka yang konsisten menulis di jalur politik itu adalah mereka yang bermental Wani mumbul, wani ajur. Berani populer tidak takut hancur karena tulisannya. Kalau saya sih termasuk penulis " cemen " beraninya menulis tentang yang receh -- receh di kanal yang sepi -- sepi yang lebih adem dan ayem tentrem.
Bukan berarti tidak pernah menulis politik dan masuk artikel populer. Terus terang saya yang kurang referensi politik tidak akan bermanuver dengan sok tahu masalah politik. Mungkin seperti halnya Pak Ajinata, Yon Bayu, Susy Haryawan, Fery W, Elang Salamina, punya banyak "nyawa rangkap" sehingga ketika ada sosok hantu yang meneror kehidupannya mereka sudah siap.
Terus terang saya sih, pengin lancar jaya saja di tulisan - tulisan seni budaya, hobi atau tenggelam dalam khusuk masuknya menulis puisi dan diary. Toh jika tulisan kita enak dibaca dan cukup sedap untuk dinikmati tetap berguna meskipun jumlah viewernya tidak sampai ribuan.
Tapi kadang - kadang muncul rasa iri juga dan gatal menulis tentang politik sekali - kali, toh saya menggunakan sudut pandang berbeda dalam menganalisis fenomena politik tanah air. Bukan sekedar menabuh gong biar ramai tapi mengambil angle berbeda dari mereka yang memang sudah pakar dan sangat mengerti trik - trik menulis yang berpotensi terpopuler.
Saya benar benar tidak siap populer, takut nanti menjadi narsum, diundang DPR, diundang presiden, diundang calon pemimpin masa depan, apalagi ditawari untuk menjadi penasihat politik. Waduh, bagaimana masa depan saya sebagai guru. Ya sudahlah, mereka yang senang menulis di kanal politik itu memang sudah jagoan neon, mereka pasti sudah siap dengan sumpah serapah netizen, suara nyinyir yang membandang dari kolom komentar ( padahal mereka hanya membaca judul, lalu nggerundel sendiri dan bikin forum diskusi, saling ejek di kolom komentar ) kalau sudah begitu pasti para penulis politik hanya tersenyum sambil bersiul. Nah Lho seperti mau perang. Para komentor yang jarang menulis itu saling baku hantam hahaha...
Pas bicara tentang Agus Harimurti Yudoyono, Bicara Anies Baswedan, Abu Janda, Vicky Prasetya ( eh salah Maksudnya Permadi Arya, menjadi sumber inspirasi untuk membuat jagat politik, literasi tentang politik menjadi banal. Dengan sudut pandang beda beda dari para penulis politik bisa menangguk pembaca lebih dari 1000 tentu saja akan menaikkan popularitas penulisnya dan juga pasti resiko teror dari para buzzer dan penganut politik fanatik. Dalam dunia pewayangan boleh dikatakan tengah masuk adegan goro - goro walau akhirnya setelah goro - goro muncul kelucuan dari sindiran punakawan menyangkut situasi dan kondisi politik terkini.
Manusia akan selalu tidak puas, demikian juga penulis. Sudah mendapat verifikasi biru masih merasa belum puas, kalau belum mengobrak -- abrik jagat politik dan menguasai kanal - kanal mengerikan belum sempurna. Itu bagi penulis mental petualang yang senangnya pengin melesat, meskipun harus mengorbankan diri menulis yang sebetulnya bukan bidangnya, namun demi menaikkan "rating" tidak hanya sekedar penulis papan tengah maka terus banting setir menjadi penulis politik dan isu - isu panas.
Jagad memang tengah rapuh oleh menyebarnya virus corona, namun rupanya para politisi tanah air tidak jera melemparkan isu. Mereka tengah siap pansos ( panjat sosial ) agar dikenal, dibicarakan dan akhirnya masuk dalam bursa pemimpin masa depan. Politisi muda dari dinasti politisi juga tengah mencari cari untuk menaikkan popularitasnya. Tentunya mereka sudah memegang resep nasi goreng politik yang akan memberi efek kejut. Entah dengan memainkan politik playing victim, merasa teraniaya, atau memainkan jurus kodok ngorek, atau malah kuda lumping yang mabuk dan trance, yang penting namanya muncul, masalah caranya dengan cara sensasional, pencitraan, atau dengan politik menuliskan surat cinta permohonan perhatian dari penguasa yang tengah pusing tujuh keliling menghadapi otak dan pikiran jutaan masyarakatnya yang banyak maunya.
Sebagai penyuka dunia tulis menulis, penulis benar - benar tidak siap masuk perangkap badai isu, jadi mendingan menulis yang manis -- manis dulu, entah esok tidak tahu. Jalani saja. Hari ini bisa menulis semoga besokpun tetap bisa menulis. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H