Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Andil Seni Rupa Menarik Minat Literasi Kaum Milenial

Diperbarui: 1 Februari 2021   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

twitter.com/shane_hotchkiss

Aslinya latar belakang pendidikan saya adalah seni rupa, tapi bukan berarti saya tahu banyak tentang seni rupa.

Apalagi saat ini saya malah berasyik masyuk dengan dunia tulis menulis (saya takut mengatakan berkecimpung dalam dunia sastra, sebab takut saya tidak cukup mumpuni ilmu saya dalam bidang sastra).

Secara teori dan sedikit pengetahuan tentang nirmana, tentang unsur unsur seni, kritik seni dan ilmu mencampur warna. Tapi teori seni rupa itu akan percuma saja jika tidak disertai dengan praktek menggambar dan melukis.

Bidang- bidang praktek seperti melukis, menulis, adalah bidang-bidang yang harus dilakukan dengan konsisten. Melalui proses panjang latihan. Tidak bisa ujug-ujug bisa. Kuliah atau belajar di institusi khusus seni, akan gagal total jika tidak pernah melakukan praktek, hanya membaca dan mengandalkan literasi. 

Secara teori bisa saja memberi saran dan pencerahan tapi yang terpenting adalah aksi itu sendiri. Goresan - goresan sketsa akan tampak lebih hidup jika pelaku, atau senimannya selalu mengasah keahliannya dengan terus menerus membuat coret- coretan, mencoba hal baru, menantang diri membuat sketsa puluhan, ratusan bahkan ribuan sketsa sampai ia hapal dan tangannya luwes dalam menangkap momen, angle dan ruh dari obyek yang ia gambar.

Secara umum yang namanya rupa adalah semua yang terlihat oleh mata, ada visualisasinya, bisa direkam dengan pandangan mata. Bendanya yang terlihat bisa dua dimensi, bisa tiga dimensi. Setiap benda bisa digambar sesuai sudut pandang, atau perspektif si seniman tersebut.

Maka muncul semacam aliran-aliran dalam seni rupa. Goresannya bisa dikategorikan realis, abstrak, surealis, kubistis, pop art. Seni rupa itu bisa dinikmati sebagai pajangan saja ada bernilai estetis prepresentatif, bisa bernilai terapan atau dalam istilah seni rupa dinamakan Applied Art. 

Kursi ukir, meja ukir, pintu ukir itu bernilai seni tapi juga bisa bernilai guna. Kursi ukir selain indah dan berkesan elegan, mahal dan mewah juga bisa berfungsi sebagai tempat duduk.

Atas dasar pemikiran, bulan Februari nanti saya ingin membahas banyak tentang dunia seni rupa. Sebetulnya di Kompasiana dulu saya cukup sering melakukan review pameran, membahas tentang kegiatan seni rupa. 

Saya pikir perlu juga saya akan mencoba membahas dunia politik, tentu dari sudut pandang yang berbeda. Kalau saya terkesan takut menulis dan mengkritik situasi kondisi terkini, tidak juga, Saya hanya ingin menulis politik tidak ikut latah, memojokkan dan menghakimi.

Meskipun dalam hati saya punya pilihan tentang siapa pemimpin yang tulus, merakyat dan kerja keras, namun sebagai penulis yang juga guru saya mesti harus empan papan. 

Kekritisan di Indonesia kadang disamaratakan dengan nyinyir, ketidaksukaan pada sebuah rezim karena ada sentimen, entah agama, entah ras, entah karena dikotomi mayoritas dan minoritas. 

Sebuah isu yang berhubungan dengan agama bisa saja menjadi perbincangan hangat. Bisa digoreng-goreng sehingga hal yang sebetulnya "sepele" menjadi perkara maha penting.

Nah, yang lebih nyaman untuk mengkritik itu sebetulnya lewat bahasa gambar, memainkan kritikan dengan karikatur. Tapi seni rupa pun rupanya cukup ngeri - ngeri sedap bila menyangkut kritikan tentang agama. 

Sebab banyak yang masih sensi, mabuk agama, mabuk ideologi sehingga jika seniman, pelukis, tidak peka bisa menjadi biang "kesalahan" Contohnya Raden Saleh, atau Kasus Charlie Hebdo di Perancis. Jadi tetap ada koridor dan batasan jelas bagaimana "memanusiakan" kritik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline