Tahukah kalian, jujur saya katakan bahwa sebenarnya sudah lama benci dengan Kompasiana. Mengapa sih sampai terpikat dengan Kompasiana yang ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. Dari awal mula ketika saya jatuh hati padanya, saya berharap dengan terus menulis ia semakin mengenal saya dan kemudian dalam suatu waktu Kompasiana jatuh hati pada saya. ternyata meskipun tahun demi tahun berlalu, ia lebih suka dengan orang lain, bahkan para pendatang baru itu yang tampangnya kinyis- kinyis, yang selalu antusias dalam menulis, selalu menemukan kata yang tepat untuk mengambil hatimu.
Mereka menjadi top dan masuk dalam atmosfer kisah cintamu yang penuh romantis, sedangkan aku seperti mengejar bayang- bayang. Sekali kamu tersenyum selanjutnya melengos saja. Padahal kurangnya apa coba saya, tampang, tidak terlalu buruk, kemampuan menulis boleh dikata di atas rata- rata (sombong benar). Aku sudah menghadiahkan banyak kata, tulisan - tulisan yang saya pajang di dinding hatinya pun sering diambil dan dicuplik media lain. Itu hadiah terindah untukmu Kompasiana.
Saya memendam cinta sejak bisa menulis pertama kali di akhir Januari tahun 2010. Tidak terasa sampai saat ini awal Januari 2021 sudah menulis sekitar 1027 artikel. Itu kalau bukan cinta apa hayo..! Tapi ternyata tampaknya kamu lebih mencintai yang lain yang lebih gigih, yang lebih tahu bagaimana merayu hatimu yang sebenarnya rapuh bila dikasih pujian.
Sayangnya saya bukan orang yang romantis, sehingga kadang kata - kata saat berdialog denganmu cenderung standar,biasa saja. Karena dalam berbincang tidak ada yang istimewa, selalu datang dan ditengah --tengah saja maka posisi saya di hatimu ya ditengah - tengah. Kalau saya mengistilahkan antara ada dan tiada. Jadi lama - lama ketika mendapat perlakuan seperti ini tumbuh "Benci", semakin lama semakin dalam, susah digambarkan dengan kata - kata.
Berjuta kata saya tulis, berusaha mendorong sampai lubuk hatimu yang paling dalam, namun lagi - lagi saya ini masuk kategori tidak istimewa, biasa saja dan sering tidak tersebut. Tapi meskipun demikian sesekali saya merasa tersanjung ketika menulis dan dihadiahi hujan "Artikel Utama." Saat ini saya hitung dari deretan data riwayat hidup di Kompasiana, artikel saya sudah lebih dari 100. Tepatnya sudah 118, itu lumayan.
Aku pun merasakan bahwa tulisanku selalu ditempatkan di artikel pilihan, mungkin anggaplah di atas rata- rata karena katanya para pecinta dan penulisnya sudah ribuan. Kata Prof. Felix itu mungkin saya termasuk penulis deretan papan atas yang selalu rajin menulis minimal 4 artikel perminggu. Bahkan Bulan Desember kemarin saya bisa menulis 32 artikel dan mendapatkan ganjaran 6 Artikel Utama, itu menyebabkan puasa reward saya sejak bulan Juni 2020 berakhir.
Mungkin Kompasiana mulai mencintai saya, ia mungkin melihat ketulusan saya dalam mencintai dan setia untuk berbagi tulisan lebih dari 10 tahun. Untuk saat ini binar - binar cinta itu mulai tumbuh lagi dan ada tanda bahwa Kompasiana mulai jatuh hati pada kesabaran saya melihat peluang. Tapi saya sekarang realistis saja, tidak perlu menggantungkan cita - cita setinggi langit. Yang penting berusaha menulis baik dan berusaha menjadi terbaik sesuai kemampuan saya.
Saya memang bukan orang yang unggul dalam menancapkan cinta, apalagi saya yang hanya orang kampung, yang mengenal kata pertama kali dari pengajaran guru yang saya ingat. Ini Budi, ini Ibu Budi, Ini Wati, Ini Kakak Budi, selanjutkan kekayaan kata saya dapat dari membaca tulisan S H Mintardjo. Yaitu Api di Bukit Menoreh, Naga Sasra Sabuk Intan. Jeleknya di SD bahkan saya tidak tahu apa - apa bila ada orang yang bicara bahasa asing terutama Inggris, "Do, ngomong apa kuwi". (pada ngomong apa itu). Baru di SMP mengenal bahasa asing. Padahal dulu nenek saya cas- cis-cus itu kalau ngomong Londo (Bahasa Belanda). Nenek termasuk beruntung karena bisa bersekolah di sekolah berbahasa Belanda. Dulu mungkin hanya bisa terjadi kalau mereka tidak berstatus. Den Nganten (Raden Roro), ketika era Jawa masih mengunggulkan status sosial. Maka PakDhe dan saudara kandung Ayah saya pun bisa sekolah sekolah De Britto.(jadi kok tambah songong sih).
Kemampuan bahasa nenek saya memang di atas rata- rata karena bisa ngomel pakai bahasa Belanda, sedangkan saya hanya mlongo dengan berkata. "Kok Iso Yo" (kenapa bisa ya, ya bisa karena belajar dan mempraktekkan langsung). Dari kecil saya memang tidak pernah di atas atau bawah banget. Ya rata- ratalah. Makanya sampai sekarang dalam karir dan penulisan ya selalu berada di tengah - tengah. Jadi kalau saya mengharap bisa menjadi Profesor Doktor, itu sepertinya pungguk merindukan bulan hehehe.
Tapi, karena saya cukup setia maka kebencian terhadap Kompasiana itu tertutupi oleh dalamnya cinta yang saya pelihara. "Kamu jangan benci saya ya Min," ini ungkapan saya. Saya tengah berpikir, selagi cinta saya sedang membara sebelum tiba rasa bosan karena selalu di PHP, please sekali - sekali lirik saya. Naikkan derajad saya, sanjung dan dudukkan pada kursi yang pas untuk pengabdian saya selama ini