Lihat ke Halaman Asli

Ign Joko Dwiatmoko

TERVERIFIKASI

Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Menulis Sampinganku, Guru Pekerjaan Utamaku

Diperbarui: 2 Januari 2021   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku Penulis yang terbit tahun 2020 Editor Alm. Dian Kelana, Desain Cover, Ajinata (dokpri)

Terus terang aku belum seberani Daeng Khrisna yang menyatakan diri sebagai penulis pekerjaan utamanya. Terlalu berani dan masih butuh gaji cukup untuk membayar cicilan rumah, cicilan peralatan dapur, dan menjamin ketiga anakku untuk bisa sekolah. Istriku butuh uang bulanan untuk mengelola hal - hal yang berhubungan dengan kerumahtanggaan. Di Jakarta ini kebutuhan hidup begitu banyak dan kejamnya meskipun cukup gaji kadang masih kepikiran untuk memakai uang sekedar untuk gaya hidup metropolitan yang sebetulnya tidak penting- penting amat. Jalan - jalan ke Mall sekedar shoping dan cuci mata, sepekan sekali cari tempat liburan entah ke puncak atau ke tempat yang katakanlah bisa untuk selfie.

Gaji akhirnya cuma menyapa sebentar di awal bulan dan menjerit menjelang pertengahan sampai akhir bulan. Itu berulang setiap bulan. Gaji seberapapun kalau untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup tetap saja habis. Untungnya saya bekerja di yayasan yang cukup mampu menopang kehidupan karyawannya, entah apa yang terjadi dengan guru honorer, guru magang, guru di pelosok yang tidak bisa sebulan sekali bisa menikmati gaji. Beryukur itu penting dan memberi kebahagiaan bagi orang lain itu juga menjadi bagian dari panggilan hidup untuk berbuat baik sekecil apapun pada orang lain.

Namun kadang karena gaji yang pas- pasan sifat pelit untuk memberi juga sering melintas, jika saya memberi bagaimana nasib hidup di akhir bulan, apakah bisa membeli kebutuhan pokok, atau malah tiba - tiba ada kebutuhan lain yang mendesak untuk dipenuhi. Terkadang karena saking takutnya rejeki yang semula hadir malah amblas, karena terlalu rumit dalam berpikir terutama niat memberi.

Aku terus terang belum apa - apa dibandingkan dengan Daeng Khrisna, ia sudah punya modal untuk menjadi pembicara, mentor, nara sumber pelatihan menulis. Meskipun sebetulnya pengalaman menulisku sebetulnya hampir sama dengan Daeng Khrisna, sebab waktu 1997 saya pernah ikut kursus Jurnalistik di kampus, dan sering menulis surat pembaca di beberapa koran, itu belum cukup untuk membandingkan ketrampilan yang saya punyai dengan kegigihan Daeng Khrisna.

Meskipun tahun 1999 sampai 2000  pernah menjadi kontributor sebuah majalah di Yogyakarta, dan hampir setiap edisi di kurun waktu itu dan aktif menulis dan mendapat honor yang bisa mentraktir bakso teman- teman, aku masih takut menggantungkan harapan menjadi penulis. Aku masih dikatakan pengangguran oleh orang tuaku karena pendapatanku dari menjadi loper dan menulis belum bisa untuk hidup. Sayangnya tahun 2001 menjadi titik balikku yang kurasa aku mulai mengubur impianku menjadi penulis atau wartawan. Aku diterima menjadi pengajar di sekolah swasta di Jakarta. Dari situ aku harus kompromi bahwa akhirnya aku mesti realistis bahwa tekanan kuat dari orang tuaku yang dua - duanya guru mendorongku terjun dan berprofesi sebagai guru.

jepretan di zoom di hari Guru sekolah saya di Penabur Jakarta(kompasianan.com))

Awalnya aneh karena sejak lulus kuliah sebenarnya tak hendak menjadi guru, aku sudah menyenangi dunia tulis menulis dan berharap bisa hidup dari menulis. Salah satu dorongan motivasi kuatku adalah ketika sekitar 1998 aku bisa menembus Koran Bernas, tulisanku nongol di halaman opini. Meskipun honornya Cuma 77 ribu, tapi kebahagiaanku sungguh  luar biasa. Aku berpikir ternyata aku bisa menulis di koran. Apakah ini menjadi modal berharga untuk menjadi penulis?

Ah, waktu itu aku banyak maunya, pengin menjadi artis, karena waktu di kampus pernah aktif di kegiatan Teater dan sastra. Dan karena saking asyiknya berkegiatan aku lupa bahwa tujuan kuliah itu adalah menjadi sarjana dan lulus, hampir saja aku ke DO, untungnya orang tua, saudara, teman - temanku, dosen - dosenku masih baik hati hingga akhirnya bisa lulus sarjana juga jurusan pendidikan seni rupa.

Setelah lulus aku belum ingin menjadi guru sesuai gelar kesarjanaanku, aku masih terobsesi menulis dan menjadi seniman, Kegiatanku lebih sering mengelola majalah dan sok- sokan menjadi pemimpin redaksinya bersama teman - teman lainnya yang berstatus, preman, penganggur, yang punya ijasah sarjana. Sejak menjadi pengangguran sebetulnya aku cukup produktif menulis meskipun tulisanku hanya nampang di surat pembaca untuk skala nasional, tapi lumayan banyak untuk kegiatan reportase di sebuah majalah di Yogyakarta.

Seharusnya ketika tulisan opiniku tembus di Bernas aku harus rajin mengirimkan tulisan ke koran tersebut, namun rupanya kegigihanku belum cukup teruji. Sayang pula aku bukan pengkliping yang baik sehingga tulisanku yang cukup banyak di majalah Praba tidak terkliping, hanya beberapa yang sempat kukliping dan menjadi bukti aku pernah menjadi "wartawan" waktu itu.

Kalau saja aku gigih untuk bertahan menjadi penganggur bisa saja aku kini bisa menyematkan diri menjadi penulis, sebab waktu itu sebetulnya aku mulai yakin tulisanku mulai banyak yang bisa dimuat di majalah. Tapi jalan kehidupan memang penuh misteri, aku akhirnya harus mengubur impian sebagai wartawan dan menjadi guru yang sebetulnya dari dulu kuhindari untuk mencoba peruntungan melepaskan diri dari dinasti guru karena orang tua, kakek, adalah seorang guru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline