Sejauh pengalaman, setiap manusia pernah mengalami luka. Baik luka itu disebabkan oleh goresen benda tajam, luka akibat trauma masa lalu, luka akibat dilecehkan dan luka bathin yang diakibatkan oleh kata-kata, oleh sindiran yang menyebabkan luka tergores amat dalam di kalbunya. Kalau luka goresan dan benda tajam bisa dilihat bekasnya namun luka bathin itu susah dideteksi, hanya dia (orang yang menderita) yang tahu seberapa dalamnya luka bathinnya.
Dalam rupa-rupa manusia banyak sekali manusia yang karena relasi, komunikasi dan jalinan pertemanan dan persahabatan akhirnya menyentuh perseteruan dan berakhir dengan dendam, luka bathin akibat perkataan menohok yang tiba-tiba menjadi biang dari retaknya persahabatan.
Penyebabnya macam-macam, bisa karena cinta yang kandas, pengkhianatan, atau kata-kata menohok yang berhasil menguyak luka jiwa teramat dalam. Ini menjadi sebuah trauma tidak terhapuskan akan selalu terbawa dalam kehidupan di masa yang akan datang.
Dari luka itu menghadiahkan sebuah kebiasaan baru yang bisa menyentuh simpul syaraf seseorang, ia mempunyai kebiasaan baru saat ia mengingat trauma, bengong, dan galau, histeris dan tiba-tiba tanpa bisa ditebak emosinya menggelegak. Ada kebiasaan baru sebagai penanda bahwa ia sedang terperangkap, sedang terlintas dalam pikirannya luka bathin yang menganga. Kalau orangnya pendiam, ia hanya akan diam, bengong dan syaraf kesadarannya tiba-tiba berhenti. Air mata meleleh dan mulutnya terkatub rapat.
Banyak manusia yang mengalami. Banyak orang sebetulnya mempunyai ganggauan seperti itu, ada yang masih bisa terkontrol, ada yang menunjukkan gangguan permanen dan akhirnya ada yang sakit berkelanjutan akibat sakit psikis tersebut.
Yang diperlukan oleh orang yang mengalami trauma bathin dan jiwa seperti itu bukan dengan memarahinya atau membangkitkan kenyataan bahwa ia punya kebiasaan aneh, yang diperlukan adalah pengertian mendalam untuk meminimalisir dia mengingat kembali traumanya. Bisa jadi bolehlah ia diberi kesibukan agar ia melupakan lintasan peristiwa yang membuatnya bengong, membuatnya terpaku pada goresan bathin itu.
Banyak aktifitas yang bisa menyembuhkan luka seperti itu, diantaranya adalah terapi menulis, menuliskan keluh kesah di secarik catatan. Apapun bisa dituliskan asal bisa melampiaskan emosi yang terpendam, menyegarkan pikirannya agar tidak dipenuhi oleh trauma, luka dan nestapa oleh kelemahan dan kekurangannya.
Manusia perlu melakukan introspeksi, pengendalian pikiran yang berasal dari diri sendiri. Setiap manusia tidak mungkin sempurna, selalu ada kekurangan dan cacat baik itu fisik maupun pola tingkah lakunya. Selalu punya sisi negatif yang terbawa yang membuat orang memandangnya aneh.
Meskipun secara fisik terlihat sempurna, cantik, cerdas, tampan punya bentuk tubuh mengagumkan bukan berarti tidak punya cacat. Bisa jadi dibalik kecantikannya ia mempunyai karakter bawaan yang aneh yang bagi orang lain tampak lucu atau mengurangi kesempurnaannya sebagai yang tercantik, yang terpandai, terganteng, tercerdas dan serba ter yang lain.
Nah sahabat yang baik tidak akan membuat ia menekuri cacat bawaannya atau karakter aneh yang muncul dari diri sahabatnya. Sahabatnya akan selalu maklum bahwa tidak ada manusia sempurna, pasti selalu ada kekurangannya.
Jangan menjadikan luka bathin semakin melebar, jangan membuat ketidaksempurnaan temannya menjadi senjata untuk memojokkan dirinya. Jika teman yang tahu karakter dan kecacatannya selalu membangkitkan ingatan akan kekurangannya ia akan menyimpan memori buruknya dan akan selalu muncul setiap kali muncul konflik.
Jadi kalau ingin hidup tentram jangan giring teman atau pasangan hidup untuk membangkitkan luka bathinnya. Pasti akan sangat nelangsa dan membuat jiwanya merana. Bisa jadi menjadi sumber keretakan relasi pertemanan, persahabatan atau kehidupan rumah tangganya.