Bahkan kepada sepi aku bertanya tentang apa sih sebenarnya puisi. Puisi tidak bisa menjawab karena ia lebur dalam kesunyian. Mungkin tidak perlu banyak kata untuk menciptakan puisi. Bagiku puisi adalah kesunyian, nestapa, penderitaan, cinta dan air mata. Lebih mudah aku menulis puisi saat hatiku meronta protes oleh kenyataan betapa sunyinya hati karena orang lain tidak pernah tahu yang ada dalam isi bathin ini.
Berderet puisi akan lahir di saat hidup penuh kemalangan, penderitaan, kecewa, putus asa, atau frustasi. Entah bisa saja beda pendapat aku dengan Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono Gus tf, Chairil Anwar.
Dalam pengembaraan mencari arti puisi aku hanya menemu sepi, sunyi, kesendirian dan kata- kata pendek yang bisa mewakili jiwa saat merasakan ada ketidakadilan, ada perlakuan beda. Bisa jadi ketika Widji Tukul sangat meresapi puisi dalam penghayatannya tentang puisi ia merasa telah disingkirkan dari sebuah rezim. Ia membuat kritikan tentang buruh, tentang HAM tentang kenyataan kaum urban dan kaum pekerja hanya dijadikan sasaran dan kebijakan pemerintah yang cenderung membela pemilik modal, pemegang kekuasaan, politisi tanpa pernah mendengar jerit tangis masyarakat kecil.
Boleh jadi para penyair tidak akan pernah melahirkan puisi legendaris ketika ia biasa hidup bergelimang kebahagiaan dan kemapanan. Untuk apa menciptakan puisi sementara tidak ada kata dramatis yang bisa diciptakan untuk menggambarkan sebuah peristiwa yang tidak ada tantangan sama sekali.
Menciptakan puisi itu adalah upaya menulis berbagai kemungkinan. Kemungkinan- kemungkinan itu harus diciptakan sendiri oleh penyair... bahwa di saat menulis itulah hatinya diletakkan dengan tabah di tempat sepi. Dari kata Pengantar Hasta Indriyana dalam buku Antologi puisi Epitaf Cinta. Penerbit Palu (Paguyuban Alumni Unstrat). Beberapa puisi saya tulis di buku Epitaf cinta dan itu buah dari kesunyian
Apakah masa lalu hanyalah debu,
Tak ada cita- cita masih tersisa dalam rajutan hidup penuh nestapa ini?
Apakah hanya debu yang tersisa menempel di dinding sejarah waktumu, barangkali itu kau terlalu asyik dengan dirimu sendiri...(cuplikan puisi Joko dwiatmoko di buku Antologi Puisi Epitaf Cinta, Penerbit Palu)
Puisi lahir dari nurani, dibalut dengan ketrampilan menampilkan kata yang efektif, sedikit kata namun berbicara banyak. Akan lebih baik penyair menguasai teknik menulis puisi, disamping peka menangkap pesan dari deretan puisi yang mengendap dulu dalam nurani.