Sudah lama aku melupakan persahabatan dengan buku, aku berselingkuh dengan HP dan google. Entah kenapa banyak orang lebih tergila-gila dengan makhluk virtual itu daripada benda yang terbentuk dari ketekunan,penderitaan dan permenungan lama. Pada benda virtual aku tidak terlalu sulit mencari kata. Hanya dengan kata kunci langsung pada sasaran, sedangkan dengan buku aku harus berjibaku lembar demi lembar.
Padahal bukuku menumpuk di lemari, siap dibaca dan dielus lembut. Kini mereka sedang merana karena debu menempel dan membuat mereka bisu. Teronggok seakan tak berarti. Padahal bukulah awal mula aku menyuka tulis menulis. Dari buku jendela pengetahuan terbuka, pada buka segala kata kutemukan.
Seperti itukah perjalanan manusia dalam kegamangan teknologi segera meninggalkan kawan lama untuk mempercepat langkah dari keterbiritan melangkah pada dunia bernama digital. Aku bahkan bingung jika harus meninggalkan benda kecil itu. Ia semacam jimat yang tidak boleh tertinggal. Ia harus ada saat aku harus mencari informasi, atau sekedar terhasut oleh berita- berita sampah dengan judul -- judul memukau yang ternyata hoaks.
Ah, harus teliti jika mengikuti berita saat ini, cek fakta atau hoaks, tidak sekedar menelan mentah- mentah, tidak boleh langsung percaya bahwa kata kata mereka terpercaya. Bisa jadi tulisan dan informasi itu hanya dari informasi basi yang sudah tayang beberapa tahun lalu. Ini era post truth di mana kebenaran itu relatif, kebenaran akan kalah oleh suara terbanyak dari dengungan- dengungan yang akhirnya dipercaya benar
Sedangkan buku adalah semacam kaki, pijakan kuat, langkah kuat untuk menyambut ilmu yang telah ditelaah dalam tata kelola editorial yang subtil. Penerbit tentu bukan sembarang menerima naskah, mereka harus menyeleksinya hingga menjadi sebuah buku. catatan kaki, referensi, sumber ide. Tidak mungkin penulis membeberkan ilmu hanya berdasarkan asumsi pribadi, ia pasti sudah memperhitungkan dari segala sisi.
Persahabatanku dengan buku sudah lama berlalu dan aku rindu untuk mengelus lembaran- lembarannya yang semakin kumal, kena keringat tangan. Namun deretan kata- katanya masih memukau binar- binar imajinasiku dan membuat aku semakin sadar untuk selalu melakukan cek dan ricek atas berita berita simpang siur di dunia virtual.
Apakah aku menjadi generasi tua yang kokoh mempertahankan sisi tradisionalisme pemikiran, sedangkan saat ini adalah generasi milenial yang serba cepat dan instan. Sejenak ketika menulis ini aku tengah seharian tidak menyentuh HP.
Kubiarkan berita -- berita itu berlalu, dan tumpukan status di WA pasti sudah ribuan dari beberapa grup yang amat gencar memberi informasi basi dan membingungkan.
Aku mesti memilahnya mana yang penting dan hanya sekedar informasi yang hadir karena rasa bosan oleh repetisi- repetisi mereka yang kebingungan saat menuliskannya. Mereka comot dari artikel- artikel clickbait, terkesan menakutkan dan provokatif.
Banyak orang merasa tertarik dengan pengetahuan yang tercipta dari judul bombastis, tanpa ditelaah lebih dalam isinya. Beda dengan buku yang mesti melalui tahapan ketat hingga terbentuk pengetahuan.
Aku yang sering menulis di dunia virtual kadang merasa berdosa, ketika menulis berdasarkan asumsi tanpa data dan fakta. Seperti halnya penipu yang menyebarkan informasi berdasarkan informasi dari diskusi mama -- mama saat menggosip.