Suriah sekarang ibaratnya negara tidak bertuan. Negara ini hancur oleh konflik berkepanjangan, dipicu oleh bentrokan antar pemeluk agama. Radikalisme telah memporakporandakan kepercayaan. Dan mereka dibikin saling bunuh saling serang hanya karena beda prinsip dalam agama. Agama sama tetapi mengapa sampai saling bantai.
Mendengar kata ISIS saja sudah ngeri, apalagi melihat dan membayangkan kekejaman yang mereka lakukan terhadap saudaranya. Demi cita- cita membangun negara agama, menyeragamkan keyakinan, memaksa memeluk agama yang sama maka manusia menghalalkan membunuh. Padahal jelas- jelas agama melarang merundung, membunuh dan menyiksa dengan alasan apapun.
Saya agak repot membuat opini tentang ISIS(Islamic State of Iraq and Syria), sebab walaupun sudah bicara obyektif dengan sudut pandang netral tetap saja mungkin ada yang membangun sentimen fanatisme. Saya percaya pada penulis Kompasiana dan pembacanya tapi saya agak takut dengan para komentator "resek"yang nyambar komentar hanya dari membaca judulnya saja.
Persoalan ISIS memang menjadi persoalan internasional. Dilema betul jika harus mengambil kembali mereka yang sudah berikrar bergabung dalam ideologi global bernama ISIS. Mereka mengikrarkan diri untuk membangun negara di atas negara, menyeragamkan agama, melenyapkan mereka yang tidak sepaham dan tidak menerima masukan- masukan tentang pentingnya toleransi.
ISIS membangun permusuhan pun dengan sesama agama sendiri. Dengan enteng mereka memenggal kepala, menembaki manusia tanpa ada perasaan menyesal. Kalau secara logika kewarasan mana mungkin manusia bisa melakukan tindakan pembantaian kalau tidak dengan cara cuci otak. Bagaimana mungkin ajaran agama diselewengkan dipahami salah dan dilakukan dengan pemaksaan.
Bagaimana nurani dimatikan hanya untuk sebuah cita- cita utopis. Para pengamat atau pejuang HAM memaksa untuk menerima eks ISIS pulang, kemudian dikarantina dan dicuci otaknya kembali sehingga paham radikal itu benar- benar tumbang. Mereka sudah membakar paspor hijau untuk menegaskan mereka sudah melupakan negara lamanya dan bergabung dalam sebuah negara yang katanya mampu memberikan mereka kemerdekaan, surga dan kesempatan bergaul dengan para bidadari di Alam Keabadian.
Ternyata banyak yang sudah terkena penyakit jiwa akut. Manusia sudah dikendalikan oleh pikiran halusinasi hasil dari pengembaraan di dunia maya, media sosial. Di sini, di Indonesia ramalan Jayabaya dan Ranggawarsito tentang penggambaran zaman edan ada benarnya. Kewarasan mengalami krisis, banyak orang, termasuk mereka yang rajin berdoa saja terjebak dalam krisis moral. Lalu jika berpikir tentang eks ISIS mau tidak mau pemerintah memang harus mengambil tegas. Kalau ditekan dengan senjata HAM maka akan menjadi persoalan rumit, apalagi desakan dari aktifis, pengamat, dan politisi yang ingin menyudutkan pemerintah.
Presiden Jokowi sudah merespon bahwa beliau tidak setuju pemulangan Eks ISIS. Persoalan negara sendiri saja masih banyak ditambah dengan Eks ISIS yang membuat kepala pusing tujuh keliling. Jokowi memang perlu mengambil sikap tegas, tidak usah mendengar masukan- masukan yang bisa menjebak negara masuk dalam persoalan dilematis.
Persoalan negara masih banyak maka fokus saja pada persoalan dalam negeri. Mereka yang sudah membakar paspor dan keluar sebagai warga negara sudah bukan tanggungjawab negara. Bukan masalah sentimen agama namun karena jika negara memutuskan menerima mereka kembali apakah ada jaminan mereka akan tobat dan bisa menerima negara ini dalam keberagaman.
Semua elemen bangsa harus kompak, tidak saling menggunting dalam lipatan, kemajuan negara akan terasa jika warga negara kompak membangun semangat untuk maju dan menghilangkan kecurigaan antar agama, menerima perbedaan, mendukung upaya pemerintah melepaskan diri dari lilitan persoalan ekonomi dunia. Politisi memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah, memberi kritikan proporsional, bukan menebarkan ujaran kebencian, atau memprovokasi ormas, umat untuk membenci apapun upaya pemerintah memajukan negara.
Sekarang banyak politisi yang lupa pada tugas pokoknya. Anggota DPR lebih sibuk bagaimana mengembalikan dana kampanyenya dan mencari proyek -- proyek besar, karena merasa punya kuasa sebagai wakil rakyat.