Siapa tidak mau sehat, semua orang pasti tidak menginginkan kesehatan menjadi gangguan aktifitas sehari- hari. Kesehatan itu mahal tetapi hampir semua orang hanya peduli dengan kenikmatan - kenikmatan yang hadir di lingkungannya.
Jakarta sebagai metropolitan semakin tidak peduli dengan dirinya sendiri. Ia lebih senang bersolek, berpesta pora dalam kesemrawutan. Di manapun berjalan kekumuhan selalu menemukan temannya pada pembuang sampah yang tidak peduli pada lingkungannya.
Tidak usah menunjuk orang lain, saya sendiri bagian dari penduduk Jakarta yang selalu menggunakan plastik ketika berbelanja barang. Rasanya masih aneh menantang tas kain untuk dibawa ke super market, lalu dengan tegas mengatakan."maaf saya tidak memakai kantong plastik. Sudah bawa kantong sendiri nih".
Sampah Berserakan Masyarakat Kurang Peduli
Di sekitar lingkungan saya plastik berserakan dan rasanya berat badan saya untuk memungut plastik yang bertebaran itu saking banyaknya. Plastik itu menggelasah dari depan pintu karena petugaspun seperti terkesan suka- suka, Hari ini mengambil sampah tiga hari kemudian dibiarkan diobrak -- abrik oleh kucing untuk mencari sisa makanan dari kaleng cat 25 kilo yang berfungsi sebagai penampung sampah sementara.
Saya sendiri seharusnya memilah sampah basah dan sampah kering, tetapi alih- alih memilah- milahnya saya lebih suka sibuk menulis dan membaca koran saat libur tiba. Ini menjadi introspeksi bagi saya bahwa bukan sekedar menulis dan mencari kesalahan pemerintah saja. Jika semua kesalahan dilimpahkan ke pemerintah lalu apa kontribusi tiap penduduk untuk menjaga lingkungan tetap bersih.
Indeks Polusi Terparah Se Asia Tenggara
Ketidakpedulian masyarakat terhadap ketimpangan sosial itu yang memicu polusi udara. Membuat Jakarta terkenal sebagai kota dengan tingkat polusi tertinggi di Asia Tenggara. Menurut data dari Green peace ambang batas aman partikulat debu melayang WHO adalah 10 sedangkan Jakarta mencapai 45, 3 mikrogram per meter kubik udara, lebih tinggi dari Kota Hanoi Vietnam yang sekitar 40, 8 mikrogram dan Samut Sakhon Thailand 39,8 mikrogram per kubik udara.
Jadi Jakarta masih juara dalam hal polusi udara. Sumbangan polusi itu berasal dari pembuangan gas mesin kendaraan bermotor dan PLTU serta pabrik- pabrik di sekitar Jakarta.
Saling menuding, saling menyalahkan dan keterbelahan yang terjadi akibat peristiwa politik sejak pemilihan Gubernur terakhir semakin memicu Jakarta menjadi kota dengan tingkat polusi yang mengkhawatirkan. Siang saat cuaca cerah betapa sengatan matahari langsung terasa.
Ruang terbuka hijau yang mulai tergusur oleh perumahan -- perumahan, serta akumulasi kedatangan pendatang dari daerah lain membuat Jakarta semakin semrawut.